Chapter 11 - Kenyataan pahit

409 21 2
                                    

ps; Deeva & Dennis on mulmed guise!

*

Ini bagian yang paling aku sebalkan jika salah satu mata pelajaran di kelasku sedang membutuhkan proyektor untuk presentasi. Proyektor kelasku memang sudah rusak akhir-akhir ini, dan kami—seluruh siswa kelasku harus berbondong-bondong untuk membawa beberapa tumpuk buku dan segala antek-anteknya menuju kelas yang kami tumpangi.

Dan yang membuatku terkejut adalah perintah dari Bu Mei yang memberi tahu kami untuk pindah atau biasa disebut moving class ke kelas 10 MIA 1.

Kalian pasti tahu maksudku, 'kan?

Ya, itu adalah kelasnya dia.

Terus kenapa?

"Deev, duduk di tempat gue sama Aghna aja!" seru Nabila yang entah dari kapan sudah berada di depanku. Dan aku tidak melihat batang hidung laki-laki itu, mungkin ia sudah keluar. Hanya ada beberapa murid 10 MIA 1 yang masih berada di kelas ini.

"Yah, ditempatin!"—Nabila mendelik ke arah kursinya yang sudah ditempati oleh dua teman laki-laki kelasku—"Lo sih kelamaan!" sungut Nabila. Aku hanya memberengut dan bergumam tidak jelas. Nabila dan Aghna sudah melesat keluar kelas, lalu aku melirik kursi yang berjarak dua meja dari kursi Nabila dan Aghna, di sana Retta sudah duduk manis sambil menaik turunkan alisnya sekilas sembari menunjuk kursi di sebelahnya yang kosong dengan dagunya, mengisyaratkan agar aku menempati tempat itu.

"Gue cariin juga lo," ujarku sambil membenarkan letak posisi ransel berwarna hitam di belakangku—yang entah aku tidak tahu siapa pemiliknya.

Retta tersenyum penuh arti. "Anyway, itu tasnya Zavier, lho." Ia memberi tahu.

"Teruuuus?" tanyaku dengan memutar bola mata bosan, pencitraan.

Retta hanya terkikik kecil, lalu ia buru-buru menutup mulutnya ketika Bu Mei sudah berada di depan kelas dan segera fokus pada kelompok yang sedang melakukan presentasi. Tak sengaja, jemari tanganku menyentuh sesuatu di dalam loker meja milik Zavier.

Eh, kok kayak buku tulis?

Naluriku berkata untuk mengambilnya, sekedar untuk melihat. Tanpa sadar, tanganku sudah meraba-raba buku tulis tersebut dan berhasil meraihnya.

Bukunya Zavier?

Tadinya aku hanya berniat untuk membuka beberapa lembar bagian di buku tersebut, hanya sekedar ingin tahu bentuk tulisan laki-laki itu, tetapi sederet nama yang tertera di lembar bagian belakang buku itu, sukses membuat mataku terbeliak dengan kontan.

'Ocha'

Apa itu maksudnya? Entahlah, kurasa sederet huruf itu sudah sangat menjelaskan bagaimana perasaan cowok itu. Zavier menyukai Ocha? Cewek sama yang disukai oleh Dennis?

Perasaan sesak telah menelusup ke dadaku tanpa permisi. Aku tidak tahu, mengapa hanya dengan melihat nama cewek itu di buku Zavier nafasku serasa tercekat seperti ini? Padahal aku tidak berhak merasakan ini. Pasalnya, cowok itu adalah bukan siapa-siapa untukku.

Pahit memang.

Pahit untuk menerima kenyataan ini. Tetapi apa boleh buat? Bukankah harusnya aku lega saat mengetahui bagaimana perasaannya? Jadi aku tidak perlu bersusah payah untuk berharap tidak jelas pada cowok itu.

Tiba-tiba cewek di sebelahku menyikut tangan kananku. Aku mengerjap sekali, lalu menoleh padanya. "Siap-siap bentar lagi kelompok kita maju!" Retta memperingati.


*


Sudah satu bulan setelah aku mengetahui kenyataan pahit itu, kini memandang sosok laki-laki itu terasa beda. Dulu, setiap melihat sekelibat bayangannya saja senyumku sudah mengembang secara diam-diam. Tapi, sekarang, mencoba untuk tersenyum saja rasanya sakit. Perasaan itu masih ada, hanya saja sebersit perasaan sesak menjalar di rongga dadaku kala matanya tak sengaja menatapku tepat di manik.

honey deeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang