Chapter 8 - Terungkap

437 25 2
                                    

check mulmed yaa ada Retta muehehe><

*

Lagi-lagi hari ini aku harus pulang dengan kakakku. Karena tidak ingin dihadiahi ocehan kakakku, ketika bel pulang sudah berbunyi aku langsung bergegas menuruni anak tangga dengan gerakan gesit.

Tetapi, aku merasakan ada yang mengejarku dari koridor kelas 10 tadi, kini aku sudah berada di koridor kelas 11. Aku menoleh, tidak ada siapa-siapa–maksudku, tidak ada yang mengejarku. Malah aku mendapati siswa-siswi kelas 11 yang sudah berhamburan keluar kelas.

Tiba-tiba saja ada suara seseorang yang membuat langkahku berhenti.

"Dee!" panggilnya tepat di belakangku. Aku menoleh ke belakang, memastikan bahwa yang aku dengar bukan suara dia.

Dan pada saat itu juga jantungku berdegup tidak karuan, ditambah lagi ia mengunci jarak di antara kami. Oh, jantungku masih berada di tempatnya, kan? Kuharap iya.

"Dee?" Aku mengernyitkan dahi, bingung dengan panggilan yang baru saja ia ucapkan untukku. Karena biasanya yang memanggilku 'Dee' hanya keluargaku saja, bahkan sahabat-sahabatku memanggilku dengan sebutan 'Deev' ada huruf 'V' di akhirnya.

"Nama lo Deeva, kan? Ini gue mau balikin buku catetan biologi yang kemaren gue pinjem." Astaga, ia benar-benar sedang berbicara denganku. Ia juga mengetahui namaku. Aku masih tercenung mendengar ucapannya barusan, mencerna beberapa kali apa yang baru saja ia katakan.

Catetan biologi? Kapan dia minjem?

Aku mengedip sekali, sadar bahwa masih ada sosok Zavier di hadapanku. "I-iya nama gue Deeva, kapan lo minjemnya, ya?" tanyaku meminta penjelasan.

"Sebenernya gue minjem ke Retta sih, tapi catetan dia belom lengkap terus dia ngasihin catetan lo ke gue," jelasnya dengan tenang. Bisa-bisanya ia bersikap tenang saat menjawab pertanyaanku, apa dia tidak tahu jantungku ini sudah tidak karuan di dalam?

Aku ber-oh ria menanggapinya.

Oh, jangan ucapkan terimakasih lalu pergi setelahnya, plis.

"Yaudah, makasih ya."

Ada terbesit perasaan sedih tatkala ia berterimakasih padaku, pasti sehabis ini ia akan pergi. Aku menggigit bibir bawahku, sesungguhnya aku tidak ingin percakapan ini selesai begitu saja. Jadi, aku mencari topik untuk diperbincangkan.

Untung saja ia masih mematung di depanku, mungkin menunggu aku membalas ucapannya. Tetapi aku tidak mengucapkan 'sama-sama' atau 'iya' seperti sebelum-sebelumnya, jadi aku beranikan diri untuk bertanya hal yang sangat-sangat tidak penting dan tidak jelas seperti ini,

"Kok lo manggil gue 'Dee' sih?"

Krik.

Ia membulatkan matanya, "Loh? Nama lo kan Deeva? Terus gue harus panggil apa?" tanyanya balik tanpa ekspresi, seperti biasanya.

Rasanya aku ingin pulang ke rumah saat ini juga, tapi itu sangat tidak mungkin.

"Bukan itu maksud gue, biasanya kan orang-orang manggil gue 'Deev'."

Demi apapun itu perbincangan yang sangat tidak jelas di dalam hidupku. Aku juga tidak mengerti mengapa aku jadi merasa aneh seperti ini? Bagaimana kalau dia ilfeel dengan sikapku yang selalu terlihat bodoh di depannya? Bagaimana kalau sekarang juga ia tak menghiraukan ucapanku lalu pergi meninggalkanku? Bagaimana––

Ia terkekeh kecil. Ah, dia terlihat sangat tampan dengan ekspresinya yang seperti itu, tertawa, tanpa beban. Tidak seperti biasanya, yang terkenal cuek, dingin, datar.

honey deeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang