Chapter 9 - Tragedi uang lima ribu

299 25 9
                                    

Sudah tiga minggu berlalu. Tiga minggu setelah kejadian dia memanggilku di koridor kelas 11 untuk mengembalikan bukuku, sudah tiga minggu setelah dia memanggilku dengan sebutan 'Dee', sudah tiga minggu juga aku masih mengaguminya. Mungkin kedengarannya terlalu berlebihan mengingat betapa bahagianya aku ketika ia memanggilku dengan sebutan itu. Tetapi ... entah mengapa aku hanya merasa, beda?

Setelah tiga minggu itu, sikapnya tidak berubah sedikitpun. Kupikir dengan kejadian tiga minggu lalu itu aku bisa lebih akrab dengannyaoh, bukan maksudku setidaknya ia menganggapku ada. Tetapi kenyataannya tidak. Ia masih bersikap dingin dan cuek terhadapku. Bahkan, disaat kami bersitatap saat bertemu di lingkungan sekolah ia seolah tidak mengenalku. Masih dengan tatapan datarnya yang sulit untuk ditebak.

Benar-benar sulit untuk ditebak.

Dan itu membuatku sangat penasaran.

"Deev! Nabila masa tadi ngajakin kita-kita buat makan bakso di depan sekolah," lapor Aghna yang berada tidak jauh dariku. Ia menghampiriku dengan wajah lesunya.

"Baru aja gue mau nyamper elo," sahutku yang baru saja keluar dari kelas.

"Deev! Kok kamu responnya gitu, sih?" protesnya, keningku berkerut dalam, bingung. Lalu ia melanjutkan, "Kalo Nabila ngajakin makan di luar area sekolah, nanti kita gak bisa ke kantin dong?! Nanti aku gak bisa liat si itu main basket, dong?!" celotehnya dan langsung dihadiahi kekehan kecil dariku, namun selanjutnya aku berhenti tertawa dan memasang wajah yang hampir sama dengan perempuan di depanku ini.

Ah ya, aku baru ingat ini hari Rabu. Hari dimana aku dan Aghna menjalani ritual kami, kedengarannya aneh mungkin. Tapi ini benar-benar dijalankan oleh kami setiap minggunya. Duduk di kantin dengan berbagai ragam aktifitas setiap minggunya.

"Deeeev! Naaaa!" panggil seseorang dengan lantang dari jarak sekitar sepuluh meter. Aku dan Aghna menoleh cepat ke arah sumber suara tersebut. Kami sudah sangat mengenali suara itu, siapa lagi kalau bukan suara yang dimiliki seorang Nabila yang bisa memekakan telinga bagi siapa saja yang mendengarnya.

Tanpa aba-aba, Nabila berlari kecil menghampiri kami. Tepat pada saat itu, Dennis juga keluar dari kelasku.

"Yuk! ke bawah gih, kita makan bakso. Mumpung hari ini gue sama Dennis gak les nih," ajak Nabila.

"Hari ini kita gak les? Serius? Emang ada apaan, Nab? Lo gak nyoba buat bolos kan?" tanya Dennis beruntun dengan raut wajah sok curiga.

"Ya, nggak lah, pea! Emangnya elo," semprot Nabila, lalu ia melanjutkan, "Hari ini kakak-kakak bimbelnya pada ada urusan, jadi diganti besok khusus hari ini," jelasnya yang dibalas dengan gerakan mulut "Oooooh" dari Dennis tanpa bersuara.

"Makannya di kantin aja yuk, Nab," rajukku disusul anggukan setuju dari Aghna.

"Nggak, nggak! Bosen gue makanan kantin itu itu doang. Kali-kali kek makan di luar area sekolah. Pokoknya gue mau makan baksonya bang kiwil, titik." jawabnya mantap, aku dan Aghna hanya bisa pasrah. Lalu kami menghampiri Jannet yang masih berada di kelasnya, 10 MIA 5. Setelah itu, kami berlima bersama-sama menuju bakso bang kiwil yang terletak tepat di sebrang gerbang sekolah.

"Karena ini lo yang ngajakin, lo yang traktir ya, Nab!" celetuk Dennis iseng setelah kami memesan masing-masing bakso kami. Yang lain hanya saling menyahut satu sama lain menyetujui ucapan Dennis barusan. Nabila jengah dengan tuntutan-tuntutan kami, akhirnya ia mengeluarkan suara,

"Gaaaaaaaaaaak. Gue traktir lo semua minumnya aja, oke?" tawar Nabila. Kami semua tersenyum sumringah mendengar tawarannya barusan. Kami berempat langsung bisik-bisik dan memberi isyarat seolah 'pesennya-yang-mahal-mumpung-ditraktir'. Karena Nabila orangnya memang peka terhadap sekitar, ia menatap kami berempat tajam, dan langsung memicingkan matanya curiga.

honey deeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang