Chapter 5 - Nyesek

342 26 12
                                    

"Gue ama Dennis duluan, ya Deev. Babay," pamit Nabila sambil mencubit pipi kananku dengan keras.

"Nabila kampreeeet! Sakit tau, ah." Aku hanya menggerutu dibuatnya. Nabila dan Dennis hanya cekikikan dan langsung ngacir turun ke lantai dasar. Hari ini hari Rabu, jadwal les Nabila dan Dennis. Dan juga jadwal ekskul basket di SMAN 72 Jakarta. Seperti biasanya, setiap hari Rabu aku selalu pulang telat dan menghabiskan waktu di kantin hanya sekedar makan soto atau mie ayam dan membaca novel atau mengerjakan tugas. Tujuannya hanya satu, untuk melihat seorang pria yang sedang bermain basket di Lapangan sekolahku itu.

Zavier. Nama pria itu Zavier, entah mengapa sejak kejadian waktu itu aku merasa penasaran dengan dirinya. Aku menyukai cara dia berbicara–walau berbicara dengan temanya, bukan denganku– Cara dia bermain basket, cara dia tersenyum, cara dia tertawa, dan cara-cara lainnya yang bisa membuatku lebih penasaran terhadap dirinya.

Hanya dengan melihatnya, aku bisa merasa bahagia dan hanya dengan tatapannya, jantungku bisa berdetak lebih cepat dari biasanya. Mungkin ini terdengar berlebihan, bukan? Tapi apa boleh buat, semua ini mengalir begitu saja. Aku tahu, aku hanya mengaguminya, bahkan aku tidak pernah berfikir ingin memilikinya. Kata orang, masa SMA itu masa yang paling bahagia dan berkesan, masa dimana cerita kisah cinta paling berperan. Tapi untuk yang satu ini aku tidak merasakannya, Aku tidak pernah berharap perasaanku ini terbalaskan.

Biasanya setiap hari Rabu ini aku ditemani oleh Aghna, tetapi hari ini ia harus mengganti kacamata bacanya yang biasa ia pakai jika belajar karena patah. Alasan ia setiap hari Rabu selalu pulang telat juga hampir sama denganku ; karena ia juga ingin melihat pujaan hatinya itu. Padahal ia sekelas dengannya, jadi ia mempunyai lebih banyak waktu untuk sekedar melihat pujaan hatinya itu. Aku bahkan hampir tidak percaya bahwa Aghna menyukai seorang Rian. Tidak heran, sih banyak wanita yang menyukai Rian, dia kan termasuk the most wanted guy di sekolah dia juga baik pada siapa saja, baik wanita maupun pria.

Untung saja tidak ada seorangpun yang tahu kalau aku menyukai dia. Bahkan teman-teman dekatku tidak mengetahuinya–ralat, belum mengetahuinya maksudnya. Ini aneh, biasanya setiap aku menyukai seseorang aku akan langsung cerita dengan teman terdekatku, tetapi ini tidak. Mungkin saja aku ingin memastikan dahulu perasaanku saat ini seperti apa, atau mungkin aku akan mengakuinya saat teman-temanku sadar? Atau mungkin juga aku akan memberi tahu mereka jika dia membalas perasaanku? Ah yang terakhir sangat tidak mungkin dan tidak akan pernah terjadi.

Suara Retta menyadarkanku dari lamunan ini. Aku menoleh padanya. "Lo ngapain masih diem di depan kelas gini? Biasanya juga ke kantin."

"E-eh iya ini juga mau ke kantin kok, lo udah selesai nyatetnya, Rett?" tanyaku sambil mengedarkan pandanganku ke dalam kelas, ternyata sudah kosong. Retta sedari tadi di kelas memang sedang mencatat pelajaran Matematika karena ketika pelajaran itu berlangsung ia harus dispen, mengingat ia adalah anggota yang aktif di ekskul KIR IPA.

"Udah, temen lo yang rambutnya keriting itu gak sama lo? Eh siapa sih namanya gue lupa, biasanya kan lo ke kantin sama dia kalo hari Rabu gini." Retta menyandangkan ranselnya ke bahu kanannya sambil menutup pintu kelas.

"Aghna? Oh dia hari ini lagi ke optik." Retta manggut-manggut menaggapinya, lalu ia membuka suara lagi,

"Lo mau ke kantin kan? Bareng yuk, kebetulan hari ini gue gak KIR dulu, katanya gurunya tadi ada urusan," ujarnya.

"Yuk lah!" Aku dan Retta berjalan beriringan menuju kantin.

"KIR IPA jadi ngadain lomba olimpiade, Rett? Itu perwakilan setiap kelasnya berapa orang, sih?" tanyaku.

"Jadi, perwakilannya tiga orang. Gila mepet banget, minggu depan itu hari-H nya sedangkan dana belum turun. Hhhh."

Sesampainya di kantin Retta langsung memesan jus alpukat dan aku memesan mie rebus. Aku menajamkan penglihatanku untuk melihat keadaan lapangan basket, ternyata sudah banyak anak basket di sana yang sedang melakukan pemanasan. Pandanganku tentu saja terkunci pada dia. Ia sedang berlari-lari kecil sambil mengelap pelipisnya. Lalu ia .... Tunggu, arah ia berlari menuju kantin ternyata?

honey deeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang