12. Run together

39 5 0
                                    

Pak Dayat selaku guru olahraga yang pagi itu mengenakan kaos olahraga berwarna biru muda menyipitkan mata.

"Ehem..."

"... itu yang dibelakang siapa namanya?"

Sontak semua anak-anak kelas noleh ke arah yang dimaksud Pak Dayat.

"Namanya AH-MAAD, paak..." Kori yang menjawab dengan intonasi yang dilebay-lebaykan.

Ahmad malah cuma mesem. Dia ini murid baru disini. Pindahan dari sekolah di kota sebelah. Katanya nggak mau jauh dari orangtuanya.

"Ck. Bapak nanya dia. Bukan kamu, Minah!" Geram Pak Dayat.

"Nama saya Ahmad, pak." Jawab Ahmad segera.

"Apa?"

"Ah-"

"Namanya Tasya, pak!" Potong Kori cepat.

"..."

"NTAH SYAPA-SYAPA... HAHAHAHAHAHA" Kori tertawa terbahak-bahak sambil merentangkan kedua tangannya ke atas dan berjoget ala kewer-kewer. Dasar edan.

"GOB-" umpat Izat hampir saja keceplosan. Gue sama yang lain bahkan udah ngakak nggak karuan. Tapi gue melotot karena Izat juga ketawa ujung-ujungnya.

Zizi langsung menoyor kepala Kori agar dia diam. Pak Dayat cuma merapatkan bibir.

"Udah! Diem lo pada!" Sentak Aiyubi langsung membuat kami semua tutup mulut.

Pak Dayat mendecak karena tidak heran lagi dengan kelakuan Kori. "Oke. Jadi untuk olahraga kali ini, bapak akan menyuruh kalian lari jarak menengah. Dari gerbang sekolah belok kiri terus nanti..."

"...lalu, bapak akan mengambil lima orang putra dan putri tercepat dan bapak akan beri nilai sembilan puluh lima. Sisanya delapan puluh lima,"
Pak Dayat terus mengoceh panjang lebar tentang lari jarak menengah.

"Pak, masa jaraknya sepuluh angka? Jauh banget. Sembilan puluh sama delapan lima deh," kata gue protes.

Pak Dayat cuma memasang wajah tsundere andalannya dan berkacak pinggang lalu mendekati gue. Gue otomatis mundur ke belakang. Agak ngeri jugak sebetulnya kalau di ketuk pake map yang ada ditangannya.

"Bapak tau kamu itu malas lari, Lukluk Ul." Balas Pak Dayat pelan sambil tersenyum manis yang dibuat-buat.

Gue langsung kicep.

***

Gue berhenti lari sambil megangin lutut. Nafas gue ngos-ngosan sambil nyeka peluh yang mengalir di dahi. Ria, Kiki, Ina, Umi, dan Nanda udah duluan bareng anak-anak cowok yang lain. Gila, batin gue bilang. Kok bisa mereka lari secepat itu?

Padahal badan gue dikategorikan kecil yang biasanya gampang buat lari kata temen-temen gue tadi.

Tapi nyatanya? Gue hampir mati.

Kaki gue rasanya sakit banget. Gue lalu nengok ke belakang. Nggak ada orang. Vika Ilaa masih jauh dibelakang.

Gue duduk sambil nyelonjorin kedua kaki gue di jalan kecil yang memang dikhususkan sekolah untuk lari seperti ini.

"Ya Allah, rasanya sakit banget," keluh gue. Bahkan mata gue mulai terasa panas, mau nangis. Gue udah berharap kalau Pak Dayat muncul jemput gue karena gue denger kelas sebelah dijemput pas nggak sampai-sampai di garis finish karena sakit perut.

Gue emang secengeng ini. Kenapa gue dilahirkan dengan fisik lemah? Kenapa gue nggak bisa kayak yang lain?

Batin gue terus berteriak.

KELAS SEPATU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang