5. Suit Suit Tetangga

77 7 1
                                    

Hari anak.

Hm.

Kami sudah remaja. Tapi karena menyambut hari anak internasional sekolah kami mengadakan do'a bersama pagi kamis ini. Dilanjutkan dengan makan bersama di kelas masing-masing bersama wali kelas.

Saat Pak Dasir mengumumkan '...bersama wali kelasnya masing-masing' kompak kami 32/33 kecewa.

Gue beserta yang lain udah celingak celinguk nyari wali kelas kami yang tak kelihatan sejak tadi. Fyi, Mister Mungidan namanya. Beliau salah satu guru bahasa Inggris disini. Rumahnya di sebelah sekolah kami, pas lurus dengan kelas 2A1.

"Paaaak, ayah kami nggak ada dong," teriak Izat.

"Iya paaaak," sahut yang lain.

"KALAU TIDAK ADA, GURU MAGANG YANG AKAN MENGGANTIKAN. BANG KHAVIS, MONGGO." Suara Pak Dasir di pengeras suara membuat kami melongo. Tapi sedetik kemudian langsung bersorak heboh.

"Yuhu. Abang ganteng. Eaak! " Semangat Ilaa sambil jingkrak-jingkrak dan disambut acungan tangan yang lain.

Belum selesai, tiba-tiba ayah kami muncul dari tepi koridor kelas, dengan membawa sebuah ember besar berisi air. Itu akan digunakan untuk mencuci tangan. Mister Ngidan seorang ustadz, guru, sekaligus dosen di dua perguruan tinggi. Beliau seorang yang alim. Sehingga beliau nanti akan mencuci tangan kami, lalu mendo'akan. Hanya simbolis, setelahnya kami tetap cuci tangan memakai air dari keran.

Gue langsung melebarkan mata, "Guys, itu ayah kita!" teriak gue heboh.

"Woaaah. Ayaaaah kami dataaaaaaang. Horeeee" heboh yang lain ikut menyusul. Pak Dasir hanya menggeleng di dean kantor melihat tingkah kami bak anak TK.

Mister Ngidan melihat kami semangat, senyum dan tatapan teduh seorang guru terlihat jelas di matanya karena bangga anak didiknya menyambut dengan penuh suka cita.

Tak sadar seluruh kelas memandang kami sebagai pusat perhatian. Mengira kami seperti anak kecil jika dilihat dari ekspresi mereka.

Siapa peduli? Toh ini adalah hari anak-anak!

***

"He! Kita belum tau mau yel-yel apaan." Ina berdiri di antara kami yang baru selesai berkemas.

"Lah, yel-yel? Buat apa?" Tanya Izul dengan tampang watadosnya.

"Yeu, si O2N!"umpat seseorang.

Ina tak menghiraukan, dia sibuk mencari-cari di mbah google agar yel-yel yang akan ditampilkan bagus. Dalam rangka hari anak, para guru memutuskan membuat perlombaan antar kelas, yaitu lomba yel-yel bertema anak. Sebenarnya ini sudah di umumkan satu hari sebelumnya. Namun kebiasaan dari para pemilik otak kelewat jenius ini baru terpikirkan sekarang.

"Yaelah, Na. Lo kan ketua ambalan. Kayak nggak pernah yel-yel lo. Lo kemah dimana si? Goa?" hardik Izat.

"Ck, berisik lo! Yel-yel itu udah biasa kalee. Ini temanya anak-anak. Mana tau gue. Lo juga kan anggota pramuka. Bantu gue mikir dong." Sewot Ina tak terima.

Gue cuma geleng kepala denger perdebatan mereka. Gue beranjak dari kursi entah siapa dan duduk di kursi gue yang memang udah di singkirkan ke tepi dinding karena makan bersama tadi duduk lesehan di lantai.

Diam-diam gue buka bungkusan plastik dan ngeluarin dua buah gelundungan besar dari dalam tas. Gue ngendap-ngendap ke pojok kelas saat semuanya sibuk mikir yel-yel. Gue keluarin cutter dan nyari tempat buat buang kulit gelundungan ini.

Gue lagi asik ngupas sambil bayangin Kyungsoo ada depan gue dan bantu gue karena nggak mau gue kecapekan atau kena pisau. Gue ngedip-ngedipkan mata sambil senyum sendiri. Tiba-tiba Kyungsoo ada di depan gue dengan senyum khas andalannya. Tatapannya seakan menghipnotis gue.



KELAS SEPATU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang