9. Saat Anak Kalem Beraksi

48 5 0
                                    

Hal yang selalu gue pikirkan dulu saat di jenjang menengah pertama adalah kenapa gue nggak punya banyak teman. Gue lebih dikenal sebagai kutu buku. Gue bahkan tau kalau teman seangkatan bicara ke gue cuma untuk nanya pelajaran. Karena mungkin gue jarang bersosialisasi. Dari pertama gue datang ke sekolah sampai bel pulang, selalu aja didalam kelas.

Kini sejak di jenjang menengah atas, gue baru punya banyak teman. Ada Ilaa, Vika, Ina, Juddin, Aiyubi, Ikrom, Setya dan masih banyak lagi. Apalagi Vika sama Ilaa. Udah kayak saudara.

Mungkin karena gue mulai membuka diri sendiri. Tidak ada lagi tembok tinggi yang memang dulu gue pasang agar tetap fokus belajar mengejar nilai. Pergantian hormon dan di lingkungan sekitar yang mengubah gue.

Gue iri ke cewek-cewek yang punya banyak teman, bisa hangout bareng, cantik, famous, dan stylish. Tapi tetap bisa fokus ke pelajaran mereka. Mulai dari sekarang gue pengen gitu.

Tapi setelah gue jalani gue merasa nggak nyaman. Mungkin karena 'maksa' jadi orang lain. Setelah gue pikir benar apa kata orang bijak, kita tidak perlu menunjukkan siapa kita kepada semua orang, cukup just the way you are.

Masa SMA adalah pencarian jati diri. Kita akan merasakan bahagia, sedih, galau, perasaan yang semuanya masih abu-abu. Seringkali tak sejalan antara apa yang diinginkan dan apa yang dilakukan. Jadi, ikuti saja alurnya. Belajar, berjuang, dan teruslah semangat meraih mimpi dan jangan lupa untuk bersenang-senang. Karena saat dewasa nanti, kamu akan merindukan masa-masa ini.

Seperti yang gue lakukan pada waktu itu.

Gue lagi ngumpul bareng temen-temen dikelas. Seperti biasa, nggak usah ditanya siapa aja karena pasti gue ngumpulnya sama mereka terus.

"Kita jadi ni bikin baju couple? Warna apa?" Tanya Dhinie.

"Ul, jadi warna dusty pink?" Tanya Evi ikut nimbrung buat gue yang baru dari kantin ngerjap bingung dan negakin tubuh.

"Jadi kayaknya. Kalian setuju nggak? Kalau nggak, entaran gue cari warna lain," jawab gue sambil ndusel ke Vika, berasa ndusel sama boneka kelinci besar gue dirumah.

"Gue si yes, bagus kok."

"Hm." Koor yang lain bikin gue senyum merekah karena akhirnya fix juga.

"Btw gue kemaren jalan-jalan ke pantai. Eh ketemu orang gila di jalan," kata Sinta memulai gosipnya.

Dhinie langsung melebarkan matanya, "Woaah, yang sering duduk di pinggir jalan kadang suka ngusek-ngusek sampah?!"

"Perempuan, kan? Seringnya di simpang tiga, bukan?" Kata gue nimbrung.

Sinta mengangguk, "Gue takut banget. Gue lagi jalan sama sepupu, eh karena dia nggak tau motornya di lambatin. Tu orang gila jadi mandangin kita." Sinta bergidik ketakutan. "Langsung gue bilang, cepetan woy. Tu orang gilaa!!!"

"Di daerah situ emang banyak orang begituan si. Ada satu lagi laki-laki. Sering jalan kaki kesana kemari. Udah agak tua."

"Lah, elu tau kagak? Gue pernah liat si Koap marah-marah sama cewek gila tadi. Orang gila marah sama orang gila. Errr, merinding gue. Mau ngakak tapi takut," kata Evi sambil ketawa bareng Nanda dan yang lain.

"Yang pake sepeda itu pernah ke toko gue, minta duit sama bokap. Karena keseringan jadi bokap gue usir," kata Ilaa lagi.

Buset, ini orang-orang gila terkenal banget? Sampai ke daerah Ilaa yang memang cukup jauh dari tempat tinggal orang-orang ajaib itu.

"He, ngatain orang-orang itu dengan sebutan orang gila gue pernah baca nggak sopan tau. Sebut ODGJ aja. Orang Dengan Ganggguan Jiwa," peringat gue.

KELAS SEPATU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang