14. Jaket

37 3 1
                                    








Gue datang ke sekolah pagi ini bareng Ikrom. Ikrom adalah tetangga gue, rumahnya cuma beda dua rumah sama gue, jadinya kita sering berangkat bareng. Dia ini gamers sejati, tapi yang bikin gue nggak paham sekaligus heran adalah dia hafal delapan juz al-qur'an. Dia tipe cowok cuek dan ceplas ceplos. Kalau ngomong suka nggak di kontrol. Tinggi badannya sama dengan gue.

Cita-citanya sungguh bikin gue sadar bahwa orang-orang di IPA.1 pasti seringkali berbanding terbalik dengan kejeniusannya. Dia selalu bermimpi menjadi hokage setelah Naruto, si tokoh anime berambut kuning terang.

'Panggil gue Ikromkun, karena lo adalah Hinata gue di masa depan'.

Cih.

Seketika gue eneg.

Sesampai di kelas gue langsung duduk ke bangku gue dan duduk tenang menopang dagu. Karena bosan gue ambil buku matematika, mempelajari subbab garis singgung lingkaran dengan serius.

Karena bel berbunyi gue nutup buku dan membaca al-qur'an sebentar. Setelah selesai, gue cerita-cerita sama Vika sambil makan nasi lemak. Dan gue debat sama dia, kenapa nasi lemak tu di panggil lemak padahal isinya cuma nasi yang dimasak dengan santan dan beberapa menu. Jadilah gue gontok-gontokan bareng Vika. Sampai tiba-tiba semua murid kelas gue pontang-panting duduk ke kursinya masing-masing dengan rapi.

Suasana kelas mendadak tegang, gue langsung masukin nasi ke laci gitu aja liat siapa yang berdiri di depan pintu sambil memasukkan tangan kanannya ke saku celana.

Kami semua menahan nafas sampai beliau melangkah tenang dan duduk di kursi guru.

Samar-samar gue mendengar suara grusuk-grusuk dari area pojok belakang kelas buat gue noleh.

"Ck, ini nyangkut, nyet!"

"Ck ah buruan, egee," gerutu seseorang diluar dengan suara tertahan. Satu kelas kompak hening, ditambah kepala sekolah yang memandang dengan tenang sambil berkacak pinggang. Tiba-tiba sebuah benda berwarna hijau army berukuran besar muncul dari jendela, tepat di sebelah Ahmad dan Kori.

Gue nganga. Itu tas Izat.

Terus orangnya kemana?

Pak Kepsek langsung berjalan menuju pintu, tepat saat Izat muncul dari tikungan belakang kelas. Kami semua menonton dari dalam kelas dengan menahan tawa.

Izat membungkukkan badan, nyengir.

"Pak," sapanya sambil menggaruk tangannya.

"Ikut saya," suara pak kepsek terdengar dingin.

"Pak, yang terlambat bukan saya doang. Dedean juga," adu Izat tak terima membuat Yayan yang duduk tenang dibangkunya mengumpat tanpa suara.

Bagus, Zat. Lanjutin.

"IPA.1 kok telat. Merusak citra masyarakat. Saya tidak mau ada siswa saya yang terlambat lagi!" Suara bariton yang terdengar biasa namun menusuk itu menggema di kelas Sepatu pagi itu. Kami semua menunduk.

Tapi gue yakin, semua teman-teman gue yang ada dikelas pasti membatin hal yang sama kayak gue.

Apa IPA.1 tak boleh melakukan kesalahan?

"Dengar kamu Faizat?"

Izat hanya mengangguk dalam. Ya, senakal-nakalnya anak-anak, pasti ia akan tunduk di bawah orang dewasa. Karena kami bukanlah jahat, bandel. Tapi kami hanya usil.

"Sini kunci motor kamu," minta Kepsek dengan menyodorkan tangannya, Izat pun memberikan kunci motornya. "Dedean juga," tambah beliau yang membuat Izat tersenyum kemenangan.

KELAS SEPATU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang