16. Mulai Peduli

65 4 0
                                    

Gue menidurkan diri di meja, anak-anak lain udah sibuk melanglang buana ke kantin. Ada yang sibuk di belakang entah bergosip tentang cogan-cogan di sekolah atau tentang boyband korea. Entah kenapa, setiap kali gue baca cerita anak sekolahan, pasti ada geng KPOP. Sesekali mereka menjerit-jerit histeris karena mendengar idola mereka tampil tadi malam di salah satu stasiun televisi.

Gue tidak tertarik dengan obrolan mereka karena gue nggak tau dan nggak nyambung. Asik melamun karena saat ini jam kosong gue mulai mengantuk dan memejamkan mata, berniat terlelap sejenak. Tapi bukannya terlelap, gue malah teringat kejadian satu minggu yang lalu.

'Congrats'

Satu kata dalam bahasa Inggris yang sederhana komposisi hurufnya, namun punya efek berlebih bagi gue. Setya memandang gue seperti... kecewa? Entahlah, gue takut salah baca situasi. Dia nggak ada ngehubungi gue. Bahkan pas dia datang ke rumah waktu itu cuma nyerahin flashdisk yang kembaran sama gue terus pulang gitu aja.

Ngomong-ngomong soal flashdisk, itu dibeliin sama Setya. Waktu itu kita ketemu di salah satu mall, hadiah ulang tahun gue katanya.

Sampai sekarang dia nggak ada bicara ke gue. Padahal kursi cuma depan belakang. Dia duduk tepat di belakang gue. Biasanya saat ada soal yang belum dia pahami pasti nanya duluan ke gue. Sekarang dia malah pindah nanya ke Ikromkun, peringkat ke tiga di kelas karena Fuji turun ke peringkat empat.

Lalu bagaimana ending FTV drama minggu lalu?




Gue cuma bilang maaf berulang kali ke Juddin. Gue berharap dia mundur. Karena gue nggak pernah nyaman di dekatnya sebagai seseorang yang spesial. Gue mandang dia sebagai abang.

Walau seringnya dia julid ke gue dan yang lain.

Temen-temen gue yang nonton live kejadian ini nggak tau apa jawaban gue ke Juddin, karena segera setelah Setya pergi mereka langsung bersorak merayakan. Lagipula, tangan gue yang mau nolak pemberian Juddin punya makna ambigu, si.

Nggak heran kalau kompor meledug kayak Kori langsung berkoar-koar pas gue datang ke sekolah waktu itu.

Bodo, gue pundung sama mereka. Apalagi Ilaa, gue merasa terkhianati banget. Walau gue tau dia nggak salah.

Rasanya kok aneh banget, ya? Gue tu pengen bilang gini...

'Setya, lo kenapa si jadi kayak gini?'

'Gue nggak punya temen pas jamkos buat diajak ketawa.'

'Lo kalau marah ngomong dong'

'Perlu gue alibi ngembaliin jaket hitam lo yang gue pake pas sakit?'

'Apa susahnya negur nama gue? Apa perlu gue samperin lo duluan?'

ASTAGA... LO MIKIRIN APA, UL?
BIG NO!!!

Yaudahlah biarin aja. Gue harus fokus ke pelajaran gue. Bentar lagi ada olimpiade.

***

Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Gue masukin buku-buku di laci ke dalam tas, bergegas untuk pulang.

"Nggak balik?" tanya seseorang yang bikin gue natap ke depan. Gue cuma ngangkat alis. Ekspresi gue aneh nggak ya saat ini.

Belum gue jawab si toak kelas ini udah nyahut duluan.

"AHAY!!! AYANG PULANG BARENG YUKKK!!!"

"DEEN, PEJE ELAH! UDAH HAMPIR SEMINGGU INI"

"Cot lo, diem!" sergah Juddin.

Hah.

DEAR MAMA KORI, KENAPA NAMANYA HARUS AHMAD BUKHORI? NGGAK ADA MIRIP-MIRIPNYA SAMA SEKALI

Azizi yang lagi hapus papan tulis pun berbalik, dia lihat gue yang udah berwajah datar langsung geplak Kori pake penghapus, dan pipi Kori pun menghitam akibat sisa spidol. Hm, terima kasih banyak, Zi.

KELAS SEPATU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang