Bagian #7 "Moodbreaker"

174 105 31
                                    

Hari-hariku kembali seperti biasa setelah berbaikan dengan Abi. Abi yang setiap pagi menjemput di rumah, menemani makan siang, dan juga mengantar pulang . Tidak ada kejadian cukup berarti setelahnya.

Kadang sesekali aku berpikir, tentang sampai kapan semua ini akan bertahan? Sampai kapan Abi akan selalu ada di dekatku dan sampai kapan aku bisa terus-terusan merepotkan Abi dengan keinginan-keinginan tidak masuk akalku.

Aku terlalu larut dalam ekspetasiku hingga aku kadang melupakan realitanya. Bahwa nantinya bisa saja aku dan Abi pasti akan jauh, entah itu karna cinta maupun cita.

Saat ini aku sedang berada di taman kampus. Masih setia ditemani beberapa tumpukan buku dan sebuah laptop. Aku tidak sedang sendiri, melainkan dengan laki-laki di hadapanku yang sedari tadi sedang serius memiringkan hpnya dengan jari-jari yang sibuk bergelut di atasnya.

Aku sebenarnya tidak meminta Abi untuk menemuiku kemanapun aku dan dimanapun aku. Sudah aku bilang beberapa kali sampai aku bosan, bahwa aku sudah besar dan aku bisa sendiri.

Namun, begitulah Abi selalu menganggapku seperti masih kecil saja yang harus dikawal setiap menit bahkan jam.

"Bi, nanti jadi?" Aku mencoba membuka obrolanku dengannya, kasian terlalu lama aku diamkan sedari tadi. Seperti tidak ada yang terlalu penting dengan aplikasi di handphonenya yang baru saja ia mainkan, ia langsung mematikan handphonenya dan memasukan ke dalam saku.

"Jadi, mau dimana?"

"Di rumahku saja" Setelah aku mengatakan itu, aku kembali bergelut dengan tugasku yang sedikit lagi selesai dan akan berlanjut dengan tugas-tugas lain.

Jadi, tadi pagi aku meminta Abi untuk membantu mengerjakan tugasku yang kebetulan dia lumayan paham dengan materi tersebut.

Namun, untuk kesekian kali moodku dibuat hancur seketika. Marsha datang menghampiriku dan Abi. Tanpa permisi ia langsung mengambil posisi di depanku, yang berarti itu di sebelah Abi persis.

"Hey, serius banget nih kayanya? Aku ganggu ya?"

Selalu seperti ini jika aku berada di jarak yang cukup dekat dengan Marsha. Seperti ada perasaan tidak suka namun tidak tahu kenapa. Aku diam enggan menjawab pertanyaannya. Ngga penting.

"Engga" jawab Abi

Aku bisa melihat binar di mata Marsha. Sudah aku duga dari dulu pasti ada yang tidak beres dengan perasaan Marsha kepada Abi. Munafik jika dia mengatakan tidak. Lalu, untuk Abi sendiri aku belum bisa mengatakan jika dia menaruh rasa kepada Marsha, dia terlalu sulit ditebak.

"Bi, nanti sore ada acara?"

"Ada"

"Yahhh, penting banget ngga, Bi?"

"Penting"

"Padahal aku mau minta tolong kamu bantuin nyari bahan buat makalahku" Sekilas kulihat Marsha mengatakannya dengan raut wajah yang terlihat lesu, tidak seantusias tadi.

"Harus banget sekarang?" tanya Abi

Aku kesal karena rasanya seperti kambing congek disini. Mendengarkan percakapan mereka yang cukup ingin membuatku menyumpal telingaku saja.

"Lusa harus dikumpulin dan kamu tau kan dosen kita itu gimana tegasnya, Bi?"

"Tapi aku benar-benar sudah ada janji, Sha"

Aku yang diam saja sedari tadi bukan berarti aku tidak mendengarkan pembicaraan mereka. Abi sudah punya janji denganku dan apa-apaan ini. Marsha tiba-tiba meminta Abi menemaninya, di hadapanku, dan aku seperti tidak dianggap begini? Harusnya dia juga melibatkan aku, meminta izin, apa boleh atau tidak.

He's AbiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang