Bumi masih tetap berputar pada porosnya, jadi jangan takut sendiri.
***
Udara dingin serta angin berhembus membelai tubuhku saat baru saja menginjak tanah turun dari motor Alfi.
Aku belum tau pasti sedang berada dimana, yang jelas dari sini aku bisa melihat lautan kelap-kelip lampu di bawah sana. Alfi mengajaku ke atas daerah perbukitan yang entah aku tidak tau apa namanya.
Sepertinya tidak terlalu buruk untuku yang memang sedang ingin sendiri.
Di sana hanya ada saung-saung kecil serta beberapa lampu taman yang minim penerangan, namun masih bisa digunakan untuk menunjukan jalanan setapak.
Aku memilih duduk di atas rerumputan, dengan Alfi yang hanya mengekoriku di belakang.
Tidak ada yang terdengar selain deru nafas yang aku hembuskan untuk menenangkan emosiku. Lagi-lagi aku menangis, menangis dalam diam.
Saat aku memejamkan mata, kembali ingatanku kepada kejadian sore tadi di taman. Biarlah aku menangis saat ini, keadaan sekitar yang cukup gelap pasti tidak akan membuat Alfi melihat wajahku yang basah.
"Manusia kadang itu lucu ya," Aku menengok ke Alfi yang duduk di sebelah kiriku "udah tau sakit masih aja diinget" Ucap Alfi tiba-tiba.
Kulihat pandangan Alfi masih lurus ke depan , tetapi baru saja dia berbicara denganku, kan?
"Banyak orang bilang hidup itu ngga adil, hidup itu membosankan, hidup itu inilah itulah, kemudian menyalahkan Tuhan atas takdirnya. Padahal, ternyata mereka sendiri yang buat hidupnya gitu-gitu aja, terlalu stuck disatu tempat" lanjut Alfi.
Dari samping aku hanya diam memandangi Alfi sambil menunggu apa yang akan Alfi katakan lagi.
"Ada banyak hal di dunia ini yang bisa buat bahagia, Ta, syaratnya asal kita mau cari kebahagiaan itu, bukan cuma dibayangin terus besoknya lupa"
Tidak ada balasan apapun yang aku keluarkan, yang aku lakukan sekarang hanya memandangi wajah Afli lekat-lekat dari samping.
"Kalau mau nangis, nangis aja, Ta" Ujarnya sambil menatapku. Kemudiaan dia tersenyum sambil mengatakan "aku ngga tau masalah apa yang kamu rasain sekarang, yang aku mau tau, kamu boleh sedih sekarang, tapi nanti kamu pulang lupain semuanya, trus tidur, besok pagi bangun dan anggap semua kesedihan kamu sekarang itu cuma mimpi"
Dia tersenyum. Senyum yang begitu tulus. Masih bisa aku lihat di remang-remang lampu dan cahaya bulan.
"Enak ya, Al, ngomong kaya gitu, " ucapku terkekeh pelan sambil mengalihkan pandangan ke depan. Menghindari kontak mata dengan Alfi terlalu lama.
"Kalau kamu mau tau apa yang aku rasain sekarang, aku sedang berandai-andai hidupku kembali ke lima belas tahun lalu lagi, Al, jadi dewasa itu rumit" lanjutku berbicara.
"Bukan dewasa yang rumit, Ta, tapi pikiranmu sendiri yang buat rumit" saut Alfi.
Aku menengok. "Kamu enak, Al, ngomong kaya gitu, karena kamu ngga pernah ngerasain kaya yang aku rasain"
"Kata siapa? Aku pernah, Ta, pernah di posisi kamu bahkan lebih, saat itu bahkan ngga ada satu orangpun yang bisa aku jadiin pegangan, sampai aku rasa hidup itu ngga pernah adil buat aku, aku ngerasa sendirian, kehilangan semuanya, bahkan aku hampir kehilangan nyawa aku sendiri, Ta" ujarnya tertawa hambar.
"Al-"
"Tapi, waktu aku liat mamahku, teman-temanku, dan beberapa orang yang masih peduli denganku. Aku jadi sadar, Ta. Aku ngga sendirian di bumi, masih ada hal-hal yang harus aku pikirin kebahagiannya, tentunya kebahagiaan aku sendiri, Ta" Alfi terus berbicara nada suara yang dapat aku tangkap menyirat banyak sekali sedih yang ia alami.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Abi
Roman pour Adolescents"I just wanna to feel free, bahkan tanpa adanya sosok dia" "Kenapa?" "Aku cuma ingin tidak terlalu terlihat seperti seorang pengecut, Bi! Dia datang dengan niat baik, tapi aku acuhkan begitu saja saat dia sudah berani mengatakan perasaanya. Aku tida...