Kalau raga terus diikuti kemauannya, terus kapan bumi kasih kejutannya?
***
Aku berjalan menelusuri lorong kampus sambil sesekali memejit keningku yang masih agak sedikit pusing karena tadi malam.
Semalam saat aku sadar, aku hanya ingat wajah Bunda yang panik. Kebiasaan. Padahal hal seperti itu sudah sangat lumrah Bunda temui.
Entahlah. Aku tidak tahu mengapa dari kecil selalu pingsan setiap kali ngerasain cape berlebihan. Kata dokter sih masih ngga papa, cuma kalau udah berhubungan dengan Bunda, pasti ribetnya minta ampun.
Aku berhenti sejenak di tengah jalan. Menyenderkan tubuhku ke dinding saat kiranya tubuhku mulai lemas.
Tadi Adnan menghubungiku untuk menemuinya. Katanya mau membahas masalah sponsor.
Ketika aku hendak melanjutkan jalanku. Tiba-tiba saja datang laki-laki yang tidak aku kenal menyodorkan sekotak susu dan sebungkus roti di hadapanku "Ini, buat lo"
Aku hanya diam menatap bingung. "Ck, lama. Nih cepet, gue ngga punya banyak waktu nih" decak laki-laki tersebut.
Kemudian laki-laki itu pergi begitu saja.
Sebelumnya, bahkan aku sama sekali tidak pernah dengan gampangnya menerima sesuatu dari orang lain yang tidak aku kenal.
Namun, sekarang lihat. Minuman dan makanan yang tadi laki-laki itu bawa sudah berpindah tempat ke tanganku. Aneh, aku merasa tidak curiga sedikitpun terhadap benda yang sedang aku bawa.
"Ternyata disini" Ucap Adnan menyadarkanku.
"Eh, sorry. Nungguin ya?"
"Engga kok. Mau ke kantin ini, terus ketemu kamu disini. Kebetulan banget," jawab Adnan "dari kantin juga?"
"Ha? Eh gimana ?" Ujarku gelagapan yang dibalas senyuman oleh Adnan. "Oh ini. Engga, tadi ada orang yang ngasih, ngga tau siapa"
"Ceritanya punya penggemar nih" goda Adnan kepadaku.
"Apasih, Nan. Orang iseng ini mah," sahutku malas. Kemudian aku masukan makanan dan minuman itu ke tasku "jadi apa yang mau diomongin?"
"Oh itu, nanti siang rencananya aku mau ngasih proposal ke tempat-tempat sponsor yang udah di list itu. Kamu bisa ikut?"
Aku berpikir sejenak. Kepalaku masih terasa pusing, tetapi aku tidak mungkin meninggalkan hal yang sudah jadi tanggung jawabku. Tapi, jika aku ikutpun takutnya malah merepotkan Adnan di jalan nanti kalau misal aku pingsan tiba-tiba.
"Ta? Gimana, bisa ngga?" tanya Adnan sekali lagi "Kamu sakit, Ta?" ucapnya ketika menyadari keadaanku yang tidak seperti biasanya.
Buru-buru aku mengelak pertanyaan Adnan dengan berusaha menampilkan senyum terbaikku "Ah, engga kok. Aku bisa, nanti siang kan?"
"Engga, Ta. Kamu sakit" Tangan Adnan kini sudah mendarat di dahiku "Kecapean lagi?" tanya Adnan.
Yah, begitulah. Adnan juga pernah denganku dua tahun dulu. Jadi sebagian hidupku dia sudah tau. Termasuk aku yang selalu pingsan kalau terlalu cape. "Ngga papa kok, Nan. Nanti juga sembuh" ucapku mencoba meyakinkan Adnan.
"Jangan keras kepala, Ta. Jangan pikir aku orang asing yang ngga tau kamu. Udah, nanti aku sendiri aja. Lagian cuma ngasih proposal. Ngga terlalu ribet"
"Tapi Nan-"
"Istirahat aja, Ta. Aku tahu kita udah ngga bareng lagi. Tapi jangan pernah nglarang aku buat peduli sama kamu" sela Adnan memotong pembicaraanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Abi
Teen Fiction"I just wanna to feel free, bahkan tanpa adanya sosok dia" "Kenapa?" "Aku cuma ingin tidak terlalu terlihat seperti seorang pengecut, Bi! Dia datang dengan niat baik, tapi aku acuhkan begitu saja saat dia sudah berani mengatakan perasaanya. Aku tida...