Day 6

3 0 0
                                    


Akhir-akhir ini kerjaan kantor cukup menyita waktu dan perhatianku. Tapi syukurlah, itu cukup membuatku lupa akan Hasna. Setelah ibu menyebut namanya, rasa sakit itu muncul lagi. Aku baru sadar, selama ini aku hanya menghindarinya, bukan menghadapinya. Kisahku bersama Hasna belum sepenuhnya selesai seperti yang kupikirkan.

Aku ingat betul, apa yang ia katakan malam itu. "Rake, kurasa kita tidak pernah cocok. Kita memiliki dunia yang berbeda." Ia katakan itu setelah empat tahun.

Sudah itu, mimpi yang kurencanakan bersamanya runtuh seketika. Seperti rumah yang roboh karena gempa, jika ingin bertahan aku harus membangunnya dari awal.

Bekerja ke luar kota adalah satu-satunya jalan saat itu. Bisa disebut pelarianku. Bekerja seperti robot, menurut dan tak punya ruh. Karena itu tak masuk rencanaku. Setidaknya belum. Lambat laun aku jadi terbiasa. Sedikit demi sedikit, aku mulai menyukainya, aku mulai menerima hidup baruku. Tanpa Hasna.

"Rake, ooiii." Beni membuyarkan lamunanku. Ia rekan satu divisiku. Ia teman yang bisa diandalkan, mungkin dia salah satu alasan aku menetap di sini. "Kita mau makan. Yok ikut daripada bengong aja. Lagian itung-itung ngerayain projek kita yang udah selesai."

"Boleh deh."

Saat mobil yang kami tumpangi berhenti di lampu merah, aku seperti melihat Raras menyeberang jalan dengan tergesa-gesa. Raut wajahnya panik. Aku menajamkan pandanganku mengikuti ke arah ia berjalan. Namun ia lenyap di antara mobil-mobil yang berhenti.

"Liat apaan, Ke?"

"Kayak liat temen, tapi sepertinya bukan."

Mobil pun melaju begitu lampu hijau menyala.

"Apakah ia baik-baik saja?" Tanyaku pada diri sendiri. Ah, tapi apa urusanku? Namun di satu sisi, aku merasakan ada sedikit kekhawatiran. Sesuatu yang berusaha kutepis, toh ia hanya orang asing.

***

You Owe Yourself Happiness (Berutang Kebahagiaan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang