Day 10

1 0 0
                                    


Hari terakhir di rumah, aku sengaja bangun pagi buta untuk berkeliling, pergi ke taman dekat perumahan.

"Rake." Hasna muncul di depanku. Aku memilih mengabaikannya.

"Kamu masih suka ke sini?" Aku melakukan gerakan pemanasan ringan. Ia menirukannya. "Hari ini aku akan mengikutimu." Katanya.

Beberapa tetangga mulai muncul. Mereka menyapaku. Begitu melihat Hasna, mereka berbisik dan berlalu begitu saja.

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" aku tak menjawab. Beberapa saat kemudian, aku berjalan mengelilingi taman. Hasna masih mengikutiku, berjalan di belakangku. Aku berhenti, ia juga.

"Apa maumu?" Tanyaku.

"Mengikutimu." Aku membalikkan tubuh, menatap nanar padanya. "Baiklah, aku akan berhenti, tapi bicaralah 15, ah tidak, 30 menit denganku."

"Tidak perlu bicara apapun."

"Baiklah kalau begitu." Ia menyeringai.

"Oke, 20 menit!" Kami menepi di bangku taman.

"Pertama aku minta maaf. Kedua aku menyesal. Ketiga aku minta maaf. Jadi, maafmu penting untukku, Ke." Hasna mengatakannya dalam sekali napas, selesai bicara, ia agak terengah-engah.

Aku menarik napas, berharap tidak tersulut emosi. "Kamu tahu benar, Na. Dulu harapanku begitu besar. Cinta pertama, impian, semuanya sudah kurencanakan dengan rapi. Tapi, semuanya hancur seketika. Aku tidak siap, aku frustasi. Seberapa besar putus asaku, kamu mungkin sudah mendengarnya dari orang-orang."

"Itu kebodohanku. Karmaku telah datang setelahnya." Aku menghadapnya. "Laki-laki yang kupilih ternyata tidak layak untuk pengkhianatan yang kulakukan. Kalau saat itu kamu tahu, kupastikan kamu akan tertawa terbahak-bahak."

"Kamu pikir aku sejahat itu?" Tanyaku. Hasna menggeleng.

"Aku tahu, penyesalanku saja tidak cukup untukmu. Mungkin, aku harus dihukum lebih banyak."

"Sudahlah, Na. Tidak perlu kita bahas lagi. Aku lelah."

"Pun diriku." Ia mengehela napasnya. "Jadi, bersediakah kamu memaafkanku, Rake?"

Aku ragu, lalu mengangguk. "Tapi kamu tahu, tidak akan bisa 100 persen."

"Aku mengerti. Semuanya butuh waktu." Katanya. Wajahnya kini terlihat sumringah. Seperti satu beban berat telah diambil dari pundaknya. Dan aku? Rasanya, hatiku lebih ringan. Lebih bebas.

***

You Owe Yourself Happiness (Berutang Kebahagiaan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang