Day 11

3 0 0
                                    


"Raras?" Ia sedang terisak di bangkunya.

"Ada apa?" Ia mengambil tisu di atas meja, mengusap air matanya.

"Kalau saja aku tahu alasanku menangis, Ke." Katanya sambil terisak. "Aku hanya merasa buruk, lalu menangis begitu saja."

Aku menghela napas. "Mau jalan-jalan sebentar?" Sebelah alisnya terangkat. Tapi, ia berdiri, berjalan ke kasir untuk membayar makanannya, kemudian mengangguk padaku.

"Sulit kan melawan diri sendiri?" Tanyaku setelah menutup pintu cafe. "Seperti, diri sendiri tahu, dengan memaafkan kesalahan orang lain, hatinya jadi lega. Pikirannya tak lagi terbebani. Tapi, bodoh saja dia, demi ego, dia menghambat bahagianya sendiri."

Tak ada tanggapan darinya.

"Ah, tidak, lupakan saja." Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"Aku tahu, maksudmu, aku hanya harus berdamai dengan diriku sendiri, kan?" Aku mengangguk.

"Mmm, bagaimana kalau aku mengajarimu menggambar?" Tiba-tiba ide konyol itu muncul begitu saja.

"Kamu bercanda?" Ia terkekeh.

"Anggap ini sebagai training to deal with yourself."

"Kenapa begitu?"

"Mmm, seperti yang kubilang di awal, menggambar itu salah satu cara untuk keep me sane. Mungkin, untukmu juga."

"Mengapa kamu mau mengajariku?"

"Karena aku hanya bisa mengajarimu menggambar. Aku tidak bisa mengajarimu untuk berdamai dengan dirimu sendiri." Raras termenung sesaat.

"Baiklah, kapan aku bisa memulai kelas gambar?"

"Sekarang juga bisa." Matanya tiba-tiba terbelalak.

"Serius?"

"Aku selalu bawa buku sketsa di tasku."

Kami pun berhenti di depan penjual balon. Aku menyerahkan buku sketsa yang lain padanya. Ia begitu serius menggoreskan garis demi garis sesuai kehendaknya. Katanya, aku tak boleh mengintip apalagi bicara sebelum gambarnya selesai. Aku tak peduli dengan hasil gambarnya. Tiba-tiba aku hanya peduli untuk melihatnya tersenyum.

***

You Owe Yourself Happiness (Berutang Kebahagiaan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang