Sudah 3 bulan Mahesa berada di yogyakarta. Pekerjaan kantornya hampir selesai,tapi ada sedikit masalah keluarga yang mengganggu pikirannya selama seminggu belakangan ini.
"Mahesa,"
Mahesa menengok dengan pandangan yang tajam. Bahkan dengan ucapan yang begitu dingin. Bukannya menjawab, Mahesa hanya mendengus. "Dengarkan ayah dulu," Rio Sadhana, yang tak lain adalah ayah kandungnya Mahesa. Dulu, ayahnya yang selalu ia banggakan, tapi sekarang? Jangankan untuk menyebutnya,memandangnya pun tidak mau lagi.
"Apa lagi yang harus ayah jelaskan? Sudah jelas semua,"
Rio mendekati sang anak. Buah hati bersama Rani. Mahesa tetap menjadi anak kebanggaannya sampai kapanpun. "Ayah punya alasan untuk semua ini,"
"Kalau ayah mau jelasin juga udah terlambat. Keluarga kita sudah hancur. Gak kayak dulu lagi. Gak ada yang perlu diperbaiki lagi,"
"Ayah tahu kalau ayah salah. Tapi tolong dengarkan penjelasan ayah dulu,"
Mahesa tersenyum getir. "Kemana aja ayah selama ini? Kita semua nunggu kepulangan ayah dirumah,"
Rio menahan sesak didadanya. Memang ia akui kalau dirinya salah. Sudah bodoh meninggalkan keluarga yang begitu menyayanginya. "Maafkan ayah,Nak,"
"Jangan minta maaf sama esa,Yah. Tapi esa masih ingat betapa menyedihkannya bunda disaat ayah meninggalkannya begitu saja,"
Rio baru teringat keberadaan Rani sekarang. Kemanakah dirinya? Apa tidak ikut bersama Mahesa?
"Bundamu mana?" Mahesa memegang secangkir kopi yang mulai dingin tanpa mau mencobanya. "Kalau ayah nanya bunda kemana? Tentu saja tidak ada disini,"
"Boleh ayah ketemu sama bunda?" Tiba-tiba nafasnya memburu. "Jangan pernah temui bunda lagi. Cukup waktu itu saja bunda menangis karena ayah. Esa tidak akan mengizinkan untuk bertemu dengan ayah," ancaman Mahesa yang tegas membuat suasana ruangan menjadi lebih dingin dari yang biasanya.
"Ayah kangen sekali dengan kamu. Sekarang kamu sudah tumbuh menjadi pria yang bertanggung jawab. Ayah gak nyangka kamu bisa mengurus perusahaan keluarga kita," dari lubuk hati yang paling dalam ada rasa lega bagi Rio karena sudah melihat anaknya menjadi pria yang bertanggung jawab.
Dengan ucapan yang baru saja dilontarkan sang ayah membuat hati Mahesa luluh seketika.
Jangankan ayah. Mahesa,bunda,menginginkannya juga. Esa kangen sama keluarga kita yang dulu. Batin Mahesa.
"Semua yang ayah lakukan,gak akan bisa kembali seperti dulu lagi," lirih Mahesa.
"Kasih ayah kesempatan untuk memperbaiki semuanya,"
Haruskah aku memberi kesempatan? Kalau kebahagiaan bunda sudah kembali,aku bisa apa. Batin Mahesa.
"Maafkan esa,Yah," perlahan langkah Mahesa tertuju pada sang ayah kemudian memeluknya dengan sangat erat. "Ayah mengerti, ayah yang salah. Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri apalagi sampai membenci dirimu sendiri,"
"Kamu seperti ini pasti untuk melindungi bunda,benar,kan?" Mahesa mengangguk. "Aku gak mau lihat bunda sedih lagi,"
Rio merutuki kebodohannya sendiri. Bisa-bisanya ia berfikiran untuk meninggalkan keluarganya. Seharusnya ia tidak mengikuti nafsunya demi kepentingannya sendiri. "Jelaskan semuanya,esa mau tahu yang sesungguhnya,"
Mungkin sudah saatnya Rio mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak mau kehilangan keluarganya lagi. Cukup ini yang terakhir kalinya selama ia hidup. "Waktu itu perusahaan ayah mengalami kerugian,hutang dimana-mana dan perlu dana untuk membayar itu semua. Disatu sisi harus ada yang perlu ayah pikirkan untuk keperluan keluarga, disisi lain ada beban tanggungan yang harus ayah bayar. Waktu itu ayah udah gak bisa berpikir secara kepala dingin,semua begitu cepat sampai ayah berfikiran untuk meninggalkan bundamu. Sebenarnya wanita yang waktu ayah bawa kerumah itu hanya wanita bayaran saja. Sama sekali gak pernah kepikiran untuk menjalani hubungan bersama wanita lain selain rani. Setelah ayah meninggalkan keluarga ayah,ayah berjuang keras untuk membalikan modal lagi untuk membangun perusahaan ayah seperti dulu lagi. Semua butuh proses,dan juga harus banyak bersabar. Dan pada akhirnya perusahaan ayah kembali seperti dulu lagi. Sekarang tujuan ayah untuk kembali... untuk pulang kerumah hanya untuk kalian berdua. Kalian berdua adalah tujuan ayah untuk kembali kerumah."
Mahesa tercengang. Tidak habis pikir sama pemikiran ayahnya yang seperti itu. Memang sih di zaman sekarang butuh uang, tapi apa uang bisa menjamin kebahagiaan seseorang?
"Kenapa ayah gak bilang kalau waktu itu kondisi perusahaan sedang tidak baik-baik aja?"
Rio tersenyum. "Ayah gak mau buat bundamu menjadi khawatir. Maka dari itu ayah memilih untuk menyelesaikan masalah ini sendirian,"
Mahesa memeluk ayahnya lagi. Rasa rindunya masih melekat. "Maafin esa. Esa gak tahu kalau ayah lagi dalam kesulitan,"
Rio mengelus puncak kepala anaknya. "Ini bukan salahmu. Ini salah ayah,mungkin hanya caranya aja yang salah,"
"Ayah tahu? Setiap malam esa merindukan kepulangan ayah," Rasa bersalahnya Rio bertambah kali lipat. "Ayah akan memperbaiki semuanya yang sudah ayah lakukan pada kalian berdua,"
Setelah pertemuan yang tanpa disengaja itu mereka berdua masih sama-sama belum terbiasa dengan kehadirannya satu sama lain. Mungkin ini tentang waktu,perlahan tapi pasti keadaan akan kembali seperti semula.
☆☆☆
Mahesa memandang langit yang sudah gelap, ia berada dibalkon apartemennya. Pikirannya langsung tertuju pada satu wanita yang berhasil singgah dihatinya.
Mahika Asha.
"Kenapa tiba-tiba saya jadi kangen sama Asha,ya?" Gumam Mahesa. Buru-buru pikiran itu dihilangkan. Tapi apalah daya Mahesa kalau ternyata pemikiran sama di hati berbeda pendapat. Hatinya tidak bisa bohong.
Mahesa menyesap rokoknya dalam-dalam. Pikirannya sedang mengawang ketempat yang tidak seharusnya untuk jadi diperbincangkan.
"Kamu belum tidur?" Mahesa menghadap kebelakang dan mendapati sang ayah yang sedang menghampiri dirinya.
"Belum,Yah. Ayah sendiri kenapa belum tidur?" Rio duduk dikursi kayu yang berada dibalkon tersebut. "Kapan kamu mau mengenalkan pacarmu ke ayah?"
Mahesa terkekeh mendengar ucapan ayahnya. Tadi ayahnya bilang pacar? Ah! Seperti anak muda saja yang sedang dimabuk cinta.
"Pacar?kayaknya untuk umur yang seperti diriku,sudah tidak cocok untuk mencari pacar,"
Rio menoleh kearah Mahesa. "Yasudah kalau begitu kenalin calon istrimu ke ayah dan bunda. Bagaimana?"
Mahesa bungkam. Ia sendiri tidak tahu harus menjawab atau tidak. Untuk sekarang Mahesa perlu meyakinkan diri sendiri tentang perasaannya yang akan ia labuhkan kepada siapa?
"Cinta akan datang dengan sendirinya,karena cinta tidak pernah memandang kalau aku atau kamu itu siapa. Tentang satu pasangan yang mau berusaha untuk membangun impian bersama," nasihat ayahnya membuat hatinya sedikit terketuk lagi. Masa iya, dirinya lelaki yang berani bilang didalam hati saja? Lelaki macam apa itu? Seharusnya Mahesa berusaha jujur meski jawaban iya atau tidaknya urusan belakangan.
"Tapi esa belum yakin sama perasaan esa sendiri," Mahesa menghembuskan nafas dengan kasar.
"Jangan terlalu lama untuk menetapkan untuk siapa hatimu kan kau berikan. Cukup meyakini kalau ini nyata,dan memang harus dijalani," Rio berdiri disamping Mahesa. "Jangan sampai kamu seperti ayah. Menyesali perbuatannya sendiri,"
Mahesa menengok kearah ayahnya berada. "Kasih esa waktu untuk memikirkan tindakan apa yang harus esa lakukan,"
Rio tersenyum. "Baiklah kalau itu memang maumu,ayah tidak bisa memaksakan mengenai kehidupanmu. Cepat istirahat,karena besok kita akan kembali pulang," setelah itu Rio masuk kedalam apartemennya. Sedangkan Mahesa masih setia memandang langit dengan pandangan yang kosong.
Wajah Asha sedang tersenyum terlintas dipikiran Mahesa. Membuatnya ingin buru-buru bertemu. Bolehkah untuk kali ini ia merasakan kebahagiaan yang memang benar-benar nyata?
☆☆☆
Selamat membaca🖤
Jangan lupa vote dan comment😉
KAMU SEDANG MEMBACA
ASHA (SELESAI)
Teen Fiction(Short Story) "kamu berhak bahagia." seperti namanya,MAHIKA ASHA.kalau dalam bahasa sanksekerta yang artinya harapan bumi.nama yang sangat indah.tapi tidak dengan kehidupan nyata yang selalu menyimpan kepahitan dalam senyumnya. membenci diri sendiri...