Alfanishari Denara
Saat itu, ketika aku masih berstatus mahasiswa baru, tak pernah terlintas di benakku untuk seperti teman-temanku yang lain dengan mencari pacar di kampus baru. Teman-temanku beranggapan kuliah adalah fase paling bebas dari semua fase hidup. Selagi bisa, harus dong, minimal sekali ngerasain pacar di masa kuliah. Aku? Boro-boro jatuh cinta, menerima kenyataan bahwa aku harus kuliah di jurusan hukum saja masih sulit. Setiap hari yang selalu menjadi pertanyaanku adalah bagaimana cara aku dapat bertahan di sini?
Jika aku boleh memilih, aku sudah pasti akan masuk di jurusan yang sudah aku impikan sejak aku masih di bangku SMP yaitu jurusan psikologi. Bagi orang-orang yang sudah sangat mengenalku pasti heran seorang mahasiswi hukum lebih paham teori Psikodinamika daripada teori-teori hukum. Keinginanku yang kuat untuk masuk jurusan psikologi membuat aku hobi membaca buku-buku tentang psikologi, mulai dari pseudoscience-nya hingga teori-teori kepribadian lain sudah pernah kubaca.
Tapi, sepertinya aku ditakdirkan untuk tidak bisa memilih sendiri jalan hidupku. Ayahku yang merupakan seorang pengacara yang bisa dibilang cukup ternama di kotaku mengharuskan aku untuk masuk jurusan hukum. Ayah ingin aku meneruskan firma hukum yang ia dirikan di masa mendatang. Jika mau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya tidak cuma jurusan kuliah saja yang dipilihkan ayahku, hampir semua aspek dalam kehidupanku semua harus sesuai apa yang Ayah mau, sehingga aku cukup kesulitan jika harus menentukan pendapatku sendiri.
Karena aku menjalani kuliah dengan tidak sepenuh hati, hari-hari yang aku jalani semasa kuliah terasa biasa saja. Waktu yang kulalui di kampus aku biarkan berlalu dengan sendirinya tanpa aku nikmati. Aku tak pernah punya momen spesial selama berkuliah. Semua hari terasa sama bagiku.
Sampai suatu ketika, aku sudah memasuki semester kelima. Musim ujian pertengahan semester tiba. Aku sibuk mempersiapkan catatan kecil yang akan aku gunakan untuk menyontek. Aku sudah terbiasa melakukan ini sejak semester pertama. Aku tidak pernah sudi untuk belajar meskipun hanya membaca-baca bahan ujian. Untungnya, hidupku selalu bisa terselamatkan di setiap semester dengan mendapatkan IP di atas tiga, meskipun tidak pernah cum laude. Ayahku tidak pernah menuntutku untuk mendapatkan cum laude, tapi jika tahu IP-ku berkepala dua, siap-siap aja dapet ceramah selama satu jam.
Sebenarnya, aku ingin mengurungkan niatku untuk membawa catatan kecil di ujian kali ini. Pagi ini, aku mendengar rumor dari Keina, sahabatku, kalau pengawas ujian kali ini sangat seram. Tiada ampun bagi mahasiswa yang ketahuan pengawas ini menyontek. Pengawas ini adalah seorang dosen dari fakultas psikologi. Ya, meskipun aku berkuliah di jurusan hukum, aku juga mendapat mata kuliah psikologi dasar, satu-satunya mata kuliah yang membuatku bersemangat untuk berkuliah. Namun, saat aku mendapat mata kuliah ini, bukan (yang katanya) pengawas itu yang mengajarku, sehingga aku tak pernah melihatnya.
Tak lama kemudian, pengawas ujian masuk ke ruang ujian. Hampir semua peserta ujian dalam ruangan ini tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Apakah dia yang dimaksud oleh Keina? Apakah berarti rumor itu menjadi nyata?
"Denara, mendingan catatannya lo simpen aja, deh. Nggak main-main, ini Pak Arkenso yang jaga!" Bisik Keina dengan nada khawatir.
"Masa wajah soft gitu killer, sih, Kei? Jangan terlalu percaya rumor, deh! Udah ah, nggak bisa hidup kalau gue nggak nyontek kali ini, gue bener-bener nggak nguasain makul ini!"
"Ini bukan rumor, Ra. Waktu gue ngambil makul psikologi, gue diajar beliau. Pas ujian, kita gerak dikit aja matanya langsung tertuju ke arah kita. Matanya nggak cuma dua kali, ya?"
Oke, aku jadi takut sekarang. Tapi, kalau aku nggak nyontek, bisa abis karena aku benar-benar tidak ingat sama sekali dengan bahan ujian kali ini. Aduh, udahlah, yang penting aku hati-hati aja. Dapat pengawas killer, kan, bukan yang pertama kali. Biasanya juga aman-aman aja.
Namun, bertemu denganmu, Arkenso Sinathrya, adalah yang pertama kali. Kamu yang selalu dibicarakan orang-orang sebagai dosen killer. Kamu yang selalu membuatku penasaran dengan wajahmu ketika aku belum pernah bertemu denganmu. Kamu yang sama sekali tak pernah kubayangkan akan menjadi yang selalu aku pikirkan setiap hari. Kamu yang tak pernah kusangka akan menjadi bagian penting dalam hidupku yang biasa-biasa saja.
"Di atas meja hanya boleh ada lembar soal, lembar jawaban, dan satu ballpoint. Selain itu, tidak diizinkan. Tip-ex diizinkan, tetapi tidak boleh dipinjamkan untuk peserta lain. Jelas? Sebelum kita mulai apakah ada yang mau ditanyakan?"
Melihatmu dan mendengarmu memberikan penjelasan peraturan barusan hampir menyurutkan niatku untuk menyontek. Kamu benaran seram, bukan hanya sekedar rumor.
"Baik, jika tidak ada yang bertanya, kalian bisa mulai mengerjakan ujian. Selamat mengerjakan!"
Lima menit berlalu, kamu terlihat beranjak dari kursi pengawas di depan kelas. Wajah peserta ujian satu ruangan ini mulai terlihat panik. Seperti yang kami takutkan, kamu mengawasi kami dari belakang. Selama lima menit pula, belum ada satu pun soal yang aku kerjakan. Aku benar-benar tak bisa berkutik. Semua pergerakan kami diawasi sangat ketat oleh mata tajammu.
Akhirnya, aku mencoba sedikit menoleh ke belakang untuk mengetahui di mana sekarang kamu berada. Tapi, belum sempat aku melihamu, kamu sudah mengatakan, "Ingat, ya, kerjakan sendiri-sendiri. Kalau saya lihat ada yang curang, sudah dipastikan, nilai kalian tidak akan keluar!"
Tamatlah sudah riwayat ujianku kali ini. Aku hanya mengisi lima dari sepuluh soal yang ada. I hate you, Kent... so much!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine After Rain
RomanceMungkin Arkenso dan Denara saling mencintai di waktu yang salah, tapi dua manusia ini yakin, bahwa cinta tak pernah salah. Dengan cahayanya masing-masing, mereka berusaha saling menerangi kegelapan yang mereka miliki.