Arkenso Sinathrya
"Terima kasih!"
Saya tersenyum mendengar bunyi mesin absensi setelah saya menempelkan ibu jari saya di mesin itu. Jam di mesin absensi menunjukkan pukul 15.30. Saatnya saya bergegas pulang. Tidak menyangka bahwa saya bisa pulang secepat ini hari ini. Sudah beberapa hari saya selalu pulang di atas pukul tujuh malam karena ujian tengah semester telah tiba. Sebenarnya, saya merasa lebih nyaman jika mengerjakan soal pekerjaan di kampus. Rumah adalah tempat istirahat bagi saya. Jika rekan dosen yang lain kadang mengadakan bimbingan skripsi di rumahnya, saya benar-benar tidak mau melakukannya.
Saya meraih ponsel di kantong celana. Saya menekan menu kontak dan mengetik 'Mia' di kolom pencarian. Tersadar akan sesuatu, saya cepat-cepat menekan tombol lock dan memasukkan kembali ponsel saya di kantong celana. Apa yang sedang saya lakukan sekarang? Sadarlah, Kent! Mia is not yours anymore.
Setiap saya pulang lebih awal, saya terbiasa untuk menghubungi kekasih saya, Mia. Tetapi, sudah enam bulan sejak Mia memutuskan untuk meninggalkan saya. Saya masih belum terbiasa dengan kepergian Mia.
Masih teringat jelas kejadian enam bulan yang lalu. Saya dengan jelas melihat Mia tidak sendirian di meja itu. Dia bersama seorang pria berjas hitam dengan rambut yang rapi nyaris klimis. Mia menatap pria itu dengan tatapan manis, sama seperti Mia menatap saya dahulu.
"Kamu kalau sudah nggak bisa sama aku lagi bilang aja, jangan pakai cara ini!" Mia hanya menunduk tanpa mau melihat wajah saya sama sekali. Pria yang bersama Mia terlihat sangat terkejut, dia hanya tertegun melihat saya marah-marah sambil menangis.
Saya dan Mia memang sering bertengkar akhir-akhir itu. Pertunangan kami sudah berumur dua bulan saat itu. Lima bulan lagi rencananya pernikahan kami akan dilangsungkan. Justru setelah bertunangan, kami menjadi lebih sering bertengkar karena hal-hal yang tidak perlu. Saya sangat menyayangi Mia, tetapi saya merasa jika sewaktu-waktu Mia bisa meninggalkan saya. Usia saya sudah tidak muda lagi. Saya lelah menjalani hubungan berpacaran dengan penuh berbasa-basi. Namun saya tidak pernah menyangka jika Mia meninggalkan saya dengan cara seperti itu.
"Maaf, saya tidak bermaksud—"
"Saya hanya perlu berbicara dengan Mia." Saya tahu pria itu tidak salah. Dia memang terlihat tidak tahu apa-apa. Saya hanya tidak ingin mendengarnya berbicara.
"Mia, selesaikanlah dulu masalahmu. Aku pamit, ya?" pria itu beranjak dari kursinya dan segera pergi meninggalkan tempat itu. Mia tidak menjawab apapun dan masih hanya menangis.
"Sudah berapa lama?" tanya saya pada Mia sambil berusaha menahan suara saya agar tidak membentaknya.
Lagi-lagi, Mia hanya terdiam.
"Answer me, Mia."
Mia menghela napas. "Maafin aku, Kent."
"Aku sudah memaafkanmu bahkan sebelum kamu meminta maaf."
"Kent, aku tahu kamu marah besar. Kamu pasti sudah membenciku sekarang. Aku pun tidak akan memintamu untuk kembali."
"Kita sudah berpacaran selama lima tahun, pasti kamu tahu kan aku paling tidak suka ini. Memang sebaiknya tidak usah kembali."
Saya pun beranjak pergi meninggalkan Mia yang masih menangis. Saya tahu ini bukan cara yang tepat, tapi, saat itu pikiran saya sedang tidak jernih. Pada akhirnya, setelah saya dan Mia sama-sama sudah tenang, kami membicarakan masalah itu dengan keluarga karena kami memang sudah tidak bisa melanjutkan semuanya. Saya dan Mia resmi berpisah setelah itu.
Kini, saya sudah tak lagi bisa mencintai Mia. Saya hanya belum bisa terbiasa untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang saya dan Mia dulu lakukan bersama. Saya jadi menyadari bahwa semua itu tidak lebih dari sekedar rutinitas. Mungkin selama ini saya hanya memikirkan diri sendiri karena dalam pikiran saya hanya ada keresahan ingin cepat-cepat meresmikan hubungan saya dan Mia ke jenjang pernikahan. Namun, hal itu bukannya tanpa alasan. Dua tahun lagi usia saya sudah tepat berkepala empat. Saya merasa tidak punya banyak waktu lagi.
Apakah mungkin saya memang ditakdirkan selamanya begini, ya? Sepertinya sudah hakikatnya saya hidup sendiri sampai nanti. Rasanya, saya sudah lelah mencari dan menjalani.
Namun, apakah suatu hari saya dapat jatuh cinta lagi?
Tanpa sadar, saya sudah berada di dekat mobil saya. Saya jadi merasa geli dengan diri saya sendiri hingga tersenyum. Saya lekas masuk ke mobil dan perlahan kembali ke realita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine After Rain
RomanceMungkin Arkenso dan Denara saling mencintai di waktu yang salah, tapi dua manusia ini yakin, bahwa cinta tak pernah salah. Dengan cahayanya masing-masing, mereka berusaha saling menerangi kegelapan yang mereka miliki.