Life is so unfair. Begitulah pendapat Denara jika ditanya 'apa itu hidup?'. Di saat semua orang bisa dengan mudahnya memutuskan sesuatu bagi arah hidupnya, Denara tak dapat melakukannya. Sebenarnya, untuk apa dia hidup, jika setiap dia melakukan sesuatu adalah semata-mata untuk ayahnya. Setiap hari, Denara selalu bertanya 'kapan aku hidup untuk diriku sendiri? Atau jangan-jangan, waktu itu takkan pernah tiba?'
Meskipun memang berat untuk dijalani, tapi Denara merasa mampu mengendalikan semuanya. Dia tak suka perdebatan apalagi pertengkaran. Suara-suara orang bertengkar adalah suara yang paling menyakitkan di telinga dan hati Denara. Demi menghindari itu semua, dia berusaha selalu berada di tengah dan bermain dengan aman.
Pertahanan Denara sepertinya tidak berlaku untuk hari ini. Selama ini, mungkin orang-orang melihat Denara sebagai pribadi yang tak pernah punya beban hidup yang berat, termasuk keluarganya. Ayah Denara pikir Denara adalah pribadi dengan rasa toleransi yang penuh sehingga merasa sesuka hati untuk meminta Denara ini itu tanpa menimbang apa pendapat Denara yang sebenarnya. Namun, emosi-emosi yang Denara tahan dan pendam selama ini seperti fenomena gunung es, Denara marah sejadi-jadinya tak terkendali. Ujian tengah semester baru saja berakhir. Denara mau tidak mau berusaha ekstra di ujian kali ini karena tak bisa mengandalkan contekan sehingga ujian kali ini adalah yang paling melelahkan baginya. Namun, di liburan setelah ujian ini Denara tak diizinkan untuk bersantai sejenak. Ayah Denara meminta Denara untuk membantunya di firma.
"Ara, sadarlah, sayang!" Bunda Denara berusaha menyadarkan Denara yang sedang berteriak dan menangis sambil mengelus pundak anak semata wayangnya itu.
"Ara ini manusia, Bunda, bukan mesin! Ara punya rasa lelah dan sedih! Selama ini Ara nggak pernah minta macam-macam ke Ayah. Ara cuma minta satu, ingin istirahat, salah?!"
Bunda Denara ikut menangis tidak tega. Dia merasa bersalah tidak dapat melakukan apapun. Dia juga sama takutnya dengan Denara. "Maafin Bunda, ya, Ra?"
Tiba-tiba, teriakan Denara sedikit mereda. "Bunda tidak perlu meminta maaf untuk kesalahan yang nggak pernah Bunda lakukan...."
Denara lelah dengan pola yang sama. Setiap Denara berselisih paham dengan ayahnya, Bunda hanya bisa meminta maaf. Bisakah untuk sesekali bundanya memihak Denara? Mengapa Bunda bisa bertahan dan hanya diam padahal mengetahui bahwa semua ini tidak benar. Semua tidak akan berubah jika tidak ada yang "melawan".
Sekarang, pada siapa Denara harus bergantung? Ke mana Denara harus berlari saat kehilangan arah? Rumah yang seharusnya jadi tempat Denara pulang itu tidak ia temui. Ayah tidak pernah berpihak pada Denara, Bunda pun hanya bisa pasrah atas semua yang terjadi.
Denara beranjak dari kursinya menuju meja rias dan mengambil kunci mobilnya.
"Mau ke mana, Ra?" tanya Bunda.
Denara terus melangkah tanpa menjawab pertanyaan Bundanya.
Jika semesta tak pernah berpihak padaku, haruskah aku meninggalkan semesta?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine After Rain
RomanceMungkin Arkenso dan Denara saling mencintai di waktu yang salah, tapi dua manusia ini yakin, bahwa cinta tak pernah salah. Dengan cahayanya masing-masing, mereka berusaha saling menerangi kegelapan yang mereka miliki.