Cahaya di Ujung Terowongan

38 0 0
                                    

Alfanishari Denara

Setelah tiga tahun berkuliah di sini, hari ini adalah pertama kalinya aku menjejakkan kaki di Fakultas Psikologi. Entah mengapa, aku sangat menyukai atmosfer di gedung ini. Meskipun UTS telah berakhir, Fakultas Psikologi terlihat cukup ramai. Aku dengar mereka tidak ada libur setelah UTS seperti fakultasku.

Kulihat jam dinding di depanku. Sudah pukul dua siang, tapi aku masih saja duduk di kursi tunggu depan ruang konseling. Rasanya aku ingin pergi dari sini dan pulang saja. Jujur, aku masih takut padamu. Aku teringat saat kamu menjadi pengawas di kelasku di ujian kemarin. Padahal, tadi malam aku sampai tidak bisa tidur, memikirkan apa saja yang harus kuceritakan padamu, apakah kamu bisa menjawab semua keresahanku selama ini. Hingga detik ini, sebenarnya aku memiliki harapan yang besar denganmu. Aku memang takut, tapi saat ini, aku sangat percaya padamu.

Tiba-tiba, pintu ruang konseling dibuka. Kamu keluar dari sana. "Ara, ya?"

Aku terkejut ternyata kamu sudah di dalam. "Eh? Iya, Pak, saya Ara."

"Kok nggak masuk? Saya kira kamu belum datang."

Ini benaran kamu? Arkenso yang kemarin menatapku dengan tatapan tajam di kelas seminggu yang lalu itu, kan? Mengapa kamu hangat sekali hari ini?

"Saya kira, Bapak belum datang." Jawabku, ngeles.

Kamu hanya tersenyum. Kamu mungkin tahu aku berbohong. Sudah jelas-jelas aku bikin appointment jam dua siang dan mbak-mbak di lobby layanan konseling-yang belakangan aku tahu bahwa dia yang kemarin berbicara denganku di telepon-memberitahuku bahwa aku dipersilakan langsung masuk ke ruang konseling karena kamu sudah ada di dalam.

"Mari, Ara." Aku pun segera bergegas mengikutimu masuk menuju ruangan itu.

Nyaman, satu kata yang terlintas di benakku saat aku masuk ruangan ini. Memang tidak begitu luas, tapi rasanya nyaman. Selain memang karena ada penyejuk ruangan, tapi aku bisa merasakan kenyamanan yang entah aku sulit jelaskan. Di depanku berdiri, terlihat dua kursi yang disusun saling berhadapan, namun salah satu kursinya sedikit serong. Aku tidak tahu, mungkin memang seperti ini prosedurnya.

"Silakan duduk, Ara." Ujarmu mempersilakan aku duduk.

"Ah, iya, Pak." Aku pun duduk diikuti kamu duduk setelahnya.

Kamu memandang wajahku yang mungkin terlihat tegang, kemudian kamu tersenyum, seakan kamu bisa membaca bahwa aku sedang gelisah. Senyummu perlahan menghapus rasa khawatirku, menegaskan bahwa kamu bukanlah orang yang menakutkan. Kegelisahan itu akhirnya sirna dan aku hanya merasakan kehangatan.

"Saya dengar dari asisten, kamu dari fakultas hukum. Berarti sekarang kuliahnya lagi libur, ya?"

"Iya, Pak. Hari ini saya libur kuliahnya."

Oke, sekarang apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku ceritakan terlebih dahulu? Dari mana aku harus memulai?

"Jadi, ada apa kamu ingin menemui saya hari ini?" tanyamu mencoba membuka sesi.

Sebenarnya, aku sudah menyiapkan apa saja yang akan aku utarakan padamu. Tapi, saat tiba di sini, entah semua itu menguap begitu saja. "Maaf, Pak. Saya nggak tahu harus mulai dari mana...."

"Kamu boleh menceritakan apa saja, kok. Kita ada waktu dua jam untuk sesi ini." Lagi-lagi suara hangatmu menenangkan aku yang sedari tadi digeluti berbagai macam pikiran-pikiran tidak perlu.

Aku mencoba mengatur napasku. Lalu, aku putuskan untuk menceritakan dari awal dan semuanya, tanpa ada yang kututupi. Mulai dari pola asuh keluargaku yang menurutku berantakan hingga sampai di titik aku ingin berusaha untuk lepas dari semua keputusan hidupku yang selalu dibuat ayahku. Aku ingin hidup dengan caraku sendiri.

Selama bercerita, aku merasa kamu sangat mendengarkanku. Aku terlarut dalam suasana hingga ada satu momen aku bercerita sambil menangis sesenggukan. Kamu beranjak dari kursimu menuju meja yang tak jauh dari tempat kami duduk untuk mengambil sekotak tisu dan kemudian kamu kembali duduk sambil menyodorkan sekotak tisu itu padaku. Aku menerima sekotak tisu itu dan ku ambil selembar tisu dari kotak itu. Aku merasa... malu?

Kamu hanya diam menunggu tangisanku reda. Kamu pun memang sejak awal aku bercerita tak menyela sama sekali. Sesekali kamu menganggukan kepala tanda kamu mendengarkan ceritaku. Bahkan saat aku menangis, kamu sama sekali tidak berusaha untuk menenangkanku atau menyuruhku berhenti menangis. Memberiku sekotak tisu itukah caramu untuk menenangkanku?

Setelah tangisanku mereda, kamu mulai berbicara. Mungkin ini adalah pertama kalinya kamu berbicara setelah aku bercerita tadi. "Selama ini, kamu merasa semuanya berat untuk dilalui, ya?"

Aku hanya mengangguk. Air mataku kembali mengalir. Aku kembali menangis bukan karena aku masih sedih. Justru aku saat ini bersyukur dan bahagia. Untuk pertama kalinya, seseorang yang bahkan bukan sesiapaku mengetahui bahwa yang selama ini aku lalui adalah berat. Akhirnya, aku melihat seberkas cahaya setelah perjalanan panjang dan gelap ini. Kamu adalah cahaya itu, Kent.

Aku mengambil lagi selembar tisu dari kotak tisu yang sedari tadi masih kubawa dan mengusap air mataku yang tidak berhenti mengalir. Perlahan beban berat yang selama ini aku pikul berkurang beratnya.

"Ara, tadi kita sudah membicarakan beberapa hal. Pertama, kamu bilang kalau selama ini, ayahmu selalu memintamu ini itu tanpa mendengarkan pendapatmu. Kedua..." Kamu mencoba merangkum semua yang telah aku ceritakan dari awal hingga akhir. Sesekali aku membalasnya dengan anggukan dan ucapan 'ya' tanda yang kamu bilang adalah benar.

Kamu tidak membuatku merasa menyesal telah mempercayaimu. Rasanya ingin kuucapkan beribu terima kasih padamu. Mungkin, hanya ucapan saja rasanya tidak cukup. Kamu memang tidak memberikan saran yang berarti untukku atas semua masalahku, namun aku merasa didengarkan saja sudah cukup. Kehangatan yang mungkin selama ini tidak pernah kurasakan, kamu memberikannya. Kamu tidak mengatakannya, namun dengan jelas tergambar dari sikapmu terhadapku, 'I'm here for you'.

"Saya tahu ini memang berat untukmu, saat ini mungkin kamu sulit untuk melihat hal-hal baik dari apa yang kamu alami. Tapi, saya percaya denganmu, Ara."

Aku tersenyum menahan haru. Aku tahu, mungkin semua yang kamu lakukan sedari tadi itu adalah hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang konselor, tapi aku rasa kamu berbeda. Kamu mengatakan semua perkataan itu dengan tulus.

"Pak Arkenso, terima kasih, ya. Maaf..." Aku merasa bersalah pernah berpikir hal yang bukan-bukan tentangmu. Justru kamu lah yang telah menuntuku berjalan di jalan gelap yang selama ini aku lalui.

"Minta maaf untuk apa, Ara?"

"Maaf saya pernah berpikir jelek tentang Bapak. Saya pernah anggap Bapak adalah orang yang menakutkan dan sekarang Bapak malah mau meluangkan waktu untuk saya...."

Kamu lagi-lagi tersenyum. "It's alright, Ara. Tidak perlu dipikirkan. Kamu bukan orang pertama yang menganggap saya seperti itu."

"Ah, gitu ya, Pak?" Aku sedikit terkejut. Ternyata kamu menyadari apa yang orang-orang pikirkan terhadapmu.

Tak terasa, jam dinding telah menunjukkan pukul tiga lewat 50 menit. Aku pun berpamitan denganmu. 110 menit ini akan kukenang selamanya, karena itu adalah saat aku memutuskan untuk tak lagi membencimu, Kent.

Sunshine After RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang