I feel a little rush
I think I've got a little crush on you
I hope it's not too much
But boy when I'm with you I hear it
My heart is singing
La la la la la la...
Terdengar suara Yuna mengalunkan lagu berjudul Crush dari speaker bluetooth milik Denara diiringi dengan suara rintikan hujan gerimis dari luar rumahnya. Suasana kamar Denara menjadi sangat teduh dan tenang.
"Lagu baru ya, Ra?" tanya Keina pada Denara memecah keheningan.
Malam ini Keina menginap di rumah Denara. Sebenarnya tidak Keina rencanakan, ia ke rumah Denara hanya untuk menumpang mengerjakan tugas. Namun tiba-tiba turun hujan deras dan ini sudah hampir larut malam, Keina sudah malas pulang. Denara pun sudah hapal kebiasaan sahabatnya itu.
"Udah lama. Kudet lo." Canda Denara seraya tertawa.
"Duh, iya gue ngerti. Maksud gue, itu baru di playlist lo? Gue nggak pernah denger lo dengerin lagu ini"
Denara mengangguk. "Lo perhatian banget sih sampai hapal sama playlist gue"
"Gimana nggak perhatian. Lo kalau puter lagu itu-itu mulu sampai muak gue..." sergah Keina.
Denara hanya meringis memamerkan gigi kecilnya.
Keina yang sudah dari kemarin penasaran dengan tingkah Denara ini sebenarnya punya banyak pertanyaan untuk sahabatnya itu. Hujan malam ini sepertinya seperti pertanda bagi Keina bahwa semesta mendukungnya untuk mengetahui lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi.
"Tapi, deh, Ra. Tumben lo mau dengerin lagu lain selain yang ada di playlist lo? Hm... Jangan-jangan... lo lagi ngecrush seseorang ya?" Selidik Keina dengan tatapan penuh kecurigaan pada Denara.
Wajah Denara memerah seketika, ia panik. "Apaan sih, lo, Kei! Nggak ada crush gue. Emang lagu itu tuh bagus. Gue nggak sengaja denger di radio mobil kemaren. Ternyata bagus lagunya makanya gue masukin playlist!"
Keina terkekeh. "Iya, ya, Ra. Kalau nggak ada ya nggak usah panik gitu, dong. Tuh sampai merah muka lo."
Denara memegang kedua pipinya, terasa panas. Menyadari itu lalu Denara mengusap-usap pipi dan tengkuknya dengan kasar. "Ah, udah berisik, lo!"
Keina sedari tadi hanya tertawa melihat tingkah Denara yang baru ia lihat selama bersahabat dengan Denara selama tiga tahun ini. Keina yakin sudah ada sesuatu yang terjadi pada diri Denara entah Denara sadari atau tidak.
"Eh, Kei?"
Keina yang tengah fokus dengan ponselnya pun menoleh ke arah Denara.
"Lo pernah bilang kan sama gue, kalau gue ada masalah, lo siap dengerin cerita gue?"
"Hmm, terus? Jadi beneran lo ngecrush seseorang?" Keina mengubah posisi tubuhnya dari rebahan menjadi duduk.
"Males. Udah dibilangin nggak ada." Denara menekuk wajahnya.
"Hahaha, iya deh. Kenapa, nih? Ada apa?"
Denara menghela napas kemudian membetulkan posisi duduknya agar nyaman. "Sebelumnya gue minta maaf soalnya gue udah ingkar masalah itu..."
"Hah? Apaan sih? Ada rahasia yang lo sembunyiin dari gue?"
Denara mengangguk.
"Ra, kalau itu rahasia dan lo nggak nyaman buat cerita sama gue, ya nggak apa-apa lagi. Gue tau lo punya privasi."
Denara menggeleng. "Gue rasa kalau yang ini gue harus cerita sama lo. Gue juga butuh pendapat dari lo."
"Lanjutin, Ra."
"Sebenarnya, sekitar seminggu yang lalu, gue nyoba menghubungi nomor hotline yang lo kasihin ke gue. Gue langsung bikin appointment, terus gue jadi konseling deh."
"Duh, Araaa! Kirain gue apaan... Ya udah bagus dong kalau gitu. Terus sekarang gimana, lo legaan? Terus lo ada sesi lanjutan nggak?"
"Iya emang bagus. Gue juga puas sama hasilnya, I'm feeling better, now. Hari gue rasanya ringan banget kayak ada beban di pundak gue yang keangkat. Gue merasa nggak perlu sesi lanjutan sih untuk saat ini. Tapi, emangnya, lo nggak penasaran gitu siapa yang jadi konselor gue?"
"Ya gue turut seneng kalau lo seneng. Gue kadang juga nggak tega liat wajah lo lesu mulu kalau di kampus. Eh, iya, ya... Hahaha gue nggak kepikiran sama sekali. Lagian, gue pasti nggak kenal juga kalau lo sebutin siapa nama konselornya..."
"Kalau yang ini pasti lo kenal."
"Nggak usah main teka-teki, deh. Siapa emang? Kalau konselor universitas tuh juga dosen psikologi, di kepala gue cuma ada nama Pak Arkenso."
Denara hanya terkekeh.
"Hah, beneran Pak Arkenso???" mata Keina terbelalak.
Denara mengangguk. "Gue merasa bersalah aja gitu udah mikir macem-macem tentang beliau. Emang sih kalau di kelas dia galak banget, lo tau sendiri. Tapi dia pas kemaren konseling sama gue, dia soft banget. Gue tau mungkin itu sikap dia sebagai profesional aja. Menurut gue nggak gitu, dia tulus ngelakuinnya. Keliatan dari sorot matanya." Ujar Denara sambil tersenyum diikuti dengan memerahnya pipi hingga telinganya.
"Iya, gue udah tau kok." Ucap Keina pelan namun masih terdengar di telinga Denara.
"Hah? Lo ngomong apa, Kei?"
"N-nggak, kok. Gue nggak ngomong apa-apa?" sergah Keina, panik.
"Ya, pokoknya gitu deh. Gue sebenarnya juga udah minta maaf karena udah ngira yang nggak-nggak. Walaupun Pak Arkenso bilang dia udah biasa sama perkiraannya orang-orang tentang dia tuh galak, tapi gue tetep nggak enak." Ujar Denara sambil mengusap-usap tengkuknya.
Keina mengangguk paham. "Udah, Ra. Lo nggak usah mikirin itu lagi. Kan lo udah minta maaf ini. Pak Arkenso-nya juga nggak kenapa-kenapa. Kebiasaan deh lo overthinking gini."
Lagi-lagi, Denara hanya meringis.
Keina sepertinya mulai paham apa yang sedang terjadi pada Denara saat ini. Memang belum sepenuhnya yakin, namun kini Keina merasa lega, karena orang yang sedang ia khawatirkan beberapa hari ini ternyata sangat baik-baik saja, Keina bersyukur bahwa sahabatnya ini akhirnya mendapatkan kebahagiaan.
"Ra, Sabtu besok ikut gue, yuk?" ajak Keina pada Denara.
"Ke mana?"
"Resepsinya nikahan kakak sepupu gue, Ra. Temenin gue, pasti di sana gue gabut banget."
"Lah, kan ada saudara-saudara lo?"
"Saudara gue kebanyakan cowok. Cewenya masih pada seumuran SD. Nggak ada yang diajak ngobrol."
"Ya udah deh gue temenin, gue palingan juga gabut di rumah."
"Yes! Thanks, Ra. Anggep aja gue traktir lo. Besok kalau ditanya kartu tamu pakai punya gue aja. Gue kan saudaranya nggak perlu pakai kartu segala."
"Siap, deh!"
Keina, jadilah Cupid yang baik buat Ara, okay?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine After Rain
RomanceMungkin Arkenso dan Denara saling mencintai di waktu yang salah, tapi dua manusia ini yakin, bahwa cinta tak pernah salah. Dengan cahayanya masing-masing, mereka berusaha saling menerangi kegelapan yang mereka miliki.