Penghianatan

392 24 1
                                    

Beberapa bulan berselang setelah aku tahu apa yang telah menimpaku.

Kejadian itu benar benar bak tersambar petir di siang bolong. Ya mungkin Allah ingin menyadarkanku akan segala kelalaianku terhadap nikmat yang telah diberikan-Nya.

Kak Hafiz, mbak Nis, Budhe, Pakdhe, mas Dharma bahkan ibu asuhku yang di Jogja sudah tahu.

Bulan bulan yang berat kulalui, tubuhku sekarang kian melemah. Sel sel jahat itu terus menggerogoti tubuhku meski segala macam bahan kimia sudah masuk ke tubuhku.

Tapi meski begitu aku merasa beruntung memiliki keluarga, sahabat yang terus men-supportku ketika aku berada titik terendah. Dan mas Dharma pun masih setia mendampingiku meski tubuhku ini sudah kian ringkih.

Semua terlihat baik baik saja meski nyatanya tak begitu. Aku tak pernah ingin terlihat lemah meski nyatanya aku sangat lemah.

Malam ini aku pulang ke Tegal, aku sudah rindu ayah, bunda, Laila dan pastinya keluargaku yang di Tegal sana.

***

Sudah seminggu aku di Tegal dengan kondisi tubuh yang kian melemah tapi aku tetap memaksakan diri untuk pergi ke makam ayah bunda ditemani kak Hafiz.

Aku tak pernah secengeng ini sebelumnya, aku terus menangis di makam bunda entahlah aku rasanya ingin menangis saja.

'Bunda, Nia butuh bunda. Kenapa saat seperti ini bunda sudah tiada? Apa seperti ini rasanya jadi Bunda, menahan sakitnya sel sel jahat menggerogoti tubuh bunda?'

Air mata tak berhenti mengalir, terus saja membasahi pipi yang kian tirus ini. Aku menangis sesenggukan didekapan kak Hafiz yang setia menemaniku.

Setelah berjam-jam di makam ayah bunda akhirnya kak Hafiz membujukku agar pulang hari sudah petang.

Tapi saatku bangun dari duduk, tubuhku limbung ke pelukan kak Hafiz dan setelah itu gelap tak terlihat apapun.

***

Setelah aku pingsan di makam bunda. Aku di opname beberapa hari di RS PKU Muhammadiyah Singkil. Kemarin aku pulang, lebih tepatnya aku memaksakan diri untuk pulang. Aku susah muak dengan bau disinfectant di Rumah sakit.

Hari ini aku memaksakan diri untuk pergi ke Stadion Gor Tri Sanja, Slawi demi melihat Persekat tanding. Sekarang Stadion Tri Sanja sudah terlihat lebih bagus dari beberapa tahun silam,  sudah mengalami banyak renovasi karena Persekat sudah ada di Liga 1, setelah sekian lama aku tak peduli dengan keadaan sepak bola negeri ini karena segala macam masalah yang ada kini sepak bola mulai membaik di segala sektor, aku bersyukur atas itu.

----
Pertandingan selesai dengan hasil yang memuaskan Persekat berhasil mencuri poin di babak kedua, meski awalnya agak terseok-seok.

Disela menikmati sisa-sisa euphoria kemenangan Persekat di kandang, netraku menangkap sesuatu yang sangat tidak mengenakan. Ada lelaki yang sampai sekarang kujaga perasaannya telah mendua.

Dia terlihat bergandengan tangan mesra dengan wanita yang sudah kupastikan dia bukan anggota keluarganya.

Mataku panas melihat itu. Aku menggengam erat erat tangan kak Hafiz yang setia menemaniku.

Kak Hafiz yang tengah fokus melihat ponselnya. Heran melihat aku yang meremas tangan kak Hafiz dengan begitu kuat, dengan mata yang memerah.

"Ada Apa dik?" Tanya kak Hafiz heran.

Aku tak menjawab apapun, hatiku terasa sakit. Tak apa jika mas Dharma ingin mengakhiri hubungan denganku meski sudah bertunangan karena aku sadar mungkin tak layak jadi pendamping mas Dharma tapi bukan dengan mendua.

Air mataku jatuh begitu saja.

Aku berlari ke arah mas Dharma bersama wanita itu. Dan tentunya kak Hafiz terpaku melihat apa yang menjadi sebab air mataku jatuh. Kak Hafiz langsung mengejarku.

Aku menampar pipi mas Dharma dengan keras sampai pipinya memerah. Mas Dharma menatapku dengan tatapan elangnya, dulu aku takut dengan tatapannya itu.

"Maksud kamu apa dik, nampar kayak gini!" Ucap mas Dharma dengan penekanan disetiap kata dan wajah merah padam.

"Harusnya aku yang tanya begitu mas, maksud mas apa?!" Ucapku tak kalah sengit.

Dia hanya diam dengan rahang mengeras.

"Mas! Aku tahu aku memang gak pantas buat mas yang sempurna. Tapi gak gini mas, gak dengan cara mendua. Kalau memang mau ngeakhirin hubungan kita, akhiri dengan baik. Awal yang baik juga harus diakhiri dengan baik. Aku tunggu di rumah mas, AKHIRI DENGAN BAIK-BAIK. " Ucapku dengan kalimat terakhir penuh penekanan. Aku berlalu dengan mata memerah.

Saat di mobil kak Hafiz membawaku dalam dekapannya.

Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak peduli dengan sekeliling hatiku sudah terlanjur sakit.

🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
TBC
Alurnya aku percepatan ya hehehe

Agnia Divyanisa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang