Kali ini, gua pengen ngomong sedikit soal debat.
Gua tipe orang yang malas berdebat dan nggak bisa berdebat.
Tapi, kalau ada orang nyolot, gua biasanya kepancing buat meladeni. Ada rasa 'Orang kayak gini, nggak bisa didiemin aja. Harus ada yang kontra sama dia, biar dia tau batas atau biar dia diam.'
Gua juga ngerasa ketika meladeni orang kayak gitu karena terbawa emosi. Bener. Karena gua punya perasaan seperti gua bilang sebelumnya.
Kalau yang suka debat atau nyolot di sini itu temen deket, biasanya gua berani wkwkwk walaupun ujung - ujungnya ada gesekan. Tapi kalau nggak deket, biasanya sekali aja gua meladeni, habis itu yaudah.
Males juga.
Gua sempat menemukan orang yang suka debat atau nyolot. Tapi dengan sifatnya itu dia bisa jadi orang yang penting di kelas dan juara kelas. Menurut gua itu bisa dibilang kelebihan dan kekurangan dia.
Dengan sikap itu banyak orang yang tidak suka, tetapi terkadang jika dalam belajar dan kelompok sifatnya ini sangat membantu. Jadi yang patut dilakukan untuk orang seperti ini yaitu memaklumi.
Di kuliah, gua menemukan lagi yang seperti itu.
Tetapi, menurut gua atau karena baru awal - awal sifat ini mengganggu banget. Karena di kuliah, kita lebih bersifat individual dan nggak banyak interaksi lama di dalam kelas. Beda dengan SMA ada jam kosong kita tetap harus di kelas sampai bel pulang.
Terkadang orang ini berdebat di grup chat. Memang sih saat itu, kita sedang tidak membahas hal - hal penting, tetapi bahasan dia itu sensitif dan terkesan menyalahkan.
Dia membahas mengenai keluarga.
Itu bahasan sensitif buatku. Karena menurutku setiap keluarga punya cerita dan ngga seharusnya dia memaksakan pendapat dia untuk semua anak di dalam keluarga.
Aku akan cerita sedikit.
Saat itu, kalau tidak salah, hari libur. Dia perantau, perempuan.
"Enak ya hari minggu begini sama keluarga."
aku pun membalas "Aku aja di kamar, nggak ngapa - ngapain. Ini udah enak."
dari situ dia mulai membicarakan pikirannya, hidupnya dengan keluarganya.
Dia menyahuti temanku yang bercerita jika dia tidak dekat dengan ayahnya, jarang bercerita, dan bukan orang yang ingin mengobrol banyak dengan orang tuanya.
Si perempuan ini dengan cepat tidak setuju dengan perbuatan temanku ini. Dia bilang seharusnya dia mencoba untuk mengobrol dengan orangtuanya. Bercerita masalah kita. Menanyai masalah mereka dan mendengarkan kesulitan mereka. Saling membicarakan nanti di masa depan ingin apa.
Temanku menyanggah, dia tidak bisa.
Si perempuan ini bilang. "Aku bisa ngobrol cerita ke mereka karena aku berusaha buat kayak gitu."
Aku mengerti posisi temanku dan si perempuan ini tidak salah sepenuhnya. Jadi aku menyahuti begini, "Yah setiap orang berbeda."
temanku yang lain muncul dan menyahuti "Yah mungkin keluarga kamu gitu. Kamu mendapat keluarga yang enak."
Si perempuan ini membalas "Yah mungkin memang aku mendapat keluarga yang enak. Tapi aku ngga bisa diam saja melihat yang lain nggak bisa kayak aku, berusaha untuk dekat dengan keluarga mereka masing - masing."
Dari sana aku mulai kesal. Kenapa dia memaksakan kehendak, kami harus seperti dia. Kenapa kami yang sebenarnya tidak masalah dengan keluarga kami yang demikian karena berbeda dengannya, seperti kurang sempurna?
temanku yang baru muncul tadi, berkata "Nggak semuanya harus seperti itu. Ada keluarga yang tidak bertengkar saja ayah ibunya atau dia dengan orangtuanya itu sudah amat nyaman,"
aku pun menambahkan, "Misalnya aku, dengan mereka sehat, nggak banyak pikiran, masih nyapa, masih bisa makan bareng, itu udah alhamdulillah. Selagi mereka masih mendoakan aku dan aku masih bisa mendoakan mereka."
Intinya, dia tetap pada pendapatnya. Padahal bahasan itu begitu sensitif.
Awalnya aku mengira, dia anak rantau dan kangen orang tua, dia butuh teman mengobrol tapi dia justru membuat orang agak kesal dan memilih topik yang salah. Tetapi setelah itu, hari - hari berikutnya sifatnya menyebalkan di kampus.
Dan kami mengatakan, itu sifat aslinya. Karena di awal perkenalan bukan itu sifatnya, berbeda. Dan kami bisa mengetahui sifat aslinya sekarang.
Di sini aku tidak bermaksud menjelekkan temanku. Karena aku sadar mungkin saja aku pernah di posisi dia yang membuat orang lain sebal. Tapi yang ingin aku tanamkan untuk diriku, jangan sampai aku menyakiti orang lain karena ego.
Benar dalam agama bahwa berdebat itu tidak baik. Dan aku belum lulus menjadi orang yang bisa menjaga lisanku.