14

13 2 0
                                    

Sementara itu, didalam kamarnya, Hara sibuk menulis sambil membuka bungkusan dendeng sapi. Hara senang karena hari ini dia bisa lancar menulis tanpa ada hambatan sedikit pun di dalam kepalanya. Benar-benar hari yang menyenangkan. Atmosfer tempat ini berhasil membuat kalimat demi kalimat mengalir dengan mudah dari kepalanya. Dia tidak pernah menyadari betapa tempat bisa memengaruhi suasana hatinya. Setelah makan malam, suasana hatinya membaik dan dia bisa kembali meneruskan menulis naskah. Hara menjadikan satu kaleng bir dan dua lembar dendeng sapi sebagai teman menulisnya. Selain itu, di kulkas masih tersedia jus dan beragam minuman dingin lainnya, lalu juga ada kacang makanan kecil lain. Tanpa dia sadari, tengah malam pun lewat dan hari sudah berganti. Mungkin sebaiknya dia tidur sampai tiba waktunya mengosongkan kamar ini. Tapi Hara ingin meneruskan tulisannya, sampai selesai.

Ponsel Hara berdering. Awalnya Hara sudah berniat untuk mengabaikan panggilan itu, kalau-kalau yang menghubunginya adalah Taehyung. Ternyata.... Jennie.

"Jennie."

(Kau jadi pergi ke hotel itu?)

"Iya. Seru sekali disini."

(Kamar di Arizona.... bagus sekali, kan?)

"Kamarnya bagus. Dan, aku bisa menulis dengan lancar di sini. Rasanya aku punya energi bangak sekali."

(Wah.... pasti kau senang sekali.)

"Iya. Sepertinya itulah kenapa kau sering dikurung di Pulau Jeju ya? Supaya lebih semangat."

(Iya. Benar juga. Dibandingkan dengan menulis di kamar.... sepertinya ide mengalir lebih lancar kalau kita menulis di tempat lain. Jadi, dari tadi kau menulis saja?)

"Iya. Lancar tanpa hambatan. Aku juga minum bir dan makan dendeng sapi. O iya.... baru pertama kali ini aku makan dendeng sapi. Rasanya agak pedas, tapi enak sekali."

(Tentu saja enak. Makanya mahal.)

"Mahal?"

(Iya. Dendeng sapi itu mahal sekali, tahu.)

"O ya? Tapi sepertinya ini gratis."

(Sepertinya tidak mungkin.)

"Tapi mereka memberikan kamar ini secara gratis untukku. Apa mungkin aku harus mengeluarkan uang untuk membayar yang kumakan atau kuminum disini?"

(Sepengetahuanku, kau harus membayar untuk makanan yang kau ambil dari kulkas.)

Sepertinya kali ini Jennie tidak sok tahu. Jennie sudah sering berwisata keluar negeri. Jadi, dibandingkan Hara, Jennie sudah lebih sering menginap ke hotel.

"Aku harus membayar semua ini?" Hara meletakkan dendeng sapi yang sedang ada di genggamannya.

(Iya. Kau harus membayarnya. Kau makan berapa lembar memangnya?)

"Dendeng sapi nya hanya dua dan kumakan semuanya."

(Biasanya harga hotel jauh lebi mahal. Kau harus bayar sebanyak yang kau makan.)

"Serius?!"

(Iya. Serius. Kalai tidak percaya, kau hubungi saja informasi. Supaya lebih jelas.)

"Baiklah. Sudah dulu kalau begitu."

Sebelum menghubungi informasi, Hara terlebih dahulu membuka brosur hotel itu. Siapa tahu ada sedikit informasi yang bisa didapatkannya. Tapi di brosur itu tidak tertulis harga makanan yang ada di dalam kulkas kamar.

"Kamar ini kan gratis, kenapa aku harus membayar untuk yang kumakan? Bukannya akan lebih baik kalau mereka memberikan semuanya secara gratis? Total."

Hara menggerutu. Dia memikirkan bagaimana cara menanyakan harga dendeng sapi yang dia makan. Tidak ada cara lain. Hara mengangkat gagang telepon dan menghubungi Informasi.

(Selamat malam. Ada yang bisa kami bantu?)

"Ah iya.... saya yang menerima voucher menginap di hotel ini."

(Bagaimana, Sonnim? Ada yang bisa kami bantu?)

"Saya ingin bertanya, apakah makana  yang di dalam kulkas ini gratis?"

(Tidak, Sonnim. Sonnim harus membayar sesuai dengan yang sonnim makan.)

Hara kebingungan.

"Oh begitu. Boleh saya tau harganya?"

(Untuk bir....)

Setelah mencatat harga makanan dan minuman yang ada di kulkas satu per satu, Hara hanya bisa menganga.

'Ya Tuhan. Bagaimana mungkin satu kaleng bir bisa semahal ini? Lebih mahal dibandingkan harga minimarket. Lalu.... dendeng.... bukan! Bukan dendeng sapi. Memangnya aku mengunyah beberapa lembar cek bank? Tidak hanya itu. Siapa yang akan percaya kalau harga jus jeruk bisa semahal ini. Benar-benar hotel berbintang.' Kalah begini caranya, Hara ingin sekali menulis surat keluhan.

Setelah menutup telepon, Hara mulai menghitung dengan jari apa saja yang diambilnya dari kulkas tadi. Seharusnya mereka memasang pemberitahuan. Tidak peduli seberapa kesalnya Hara, hasilnya tetap saja satu kaleng bir, dua lembar dendeng sapi, dan satu botol minuman dingin. Tadi dia juga membuka satu kaleng kacang dan hanya menyisakan dua botol minuman dingin di kulkas.

Setelah menghitung, Hara harus membayar lebih dari seratus ribu won. Menyadari jumlah yang harus dibayarnya, Hara ingin sekali memuntahkan dendeng sapi yang sudah ditelannya.

'Konyol sekali. Kalau aku beli yang aku makan tadi di supermarket, rasanya tidak sampai 50.000 won.'

Sebuah ide bagus tiba-tiba menghampiri Hara. Dia akan pergi ke supermarket untuk membeli semua yang dia makan tadi, tentunya dengan merek yang sama. Beres. Ide yang sangat bagus!

'Akan menjadi pengeluaran yang tidak penting, tapi dari pada aku membiarkan seratus ribu won melayang?'

Hara langsung menghafalkan merek bir, jus jeruk, dan kacang yang dimakannya tadi. Khusus untuk dendeng sapi, Hara memasukkan bangkusnya ke dalam tas. Supaya tidak ketahuan, dia mengalungkan tas di bahunya dan cepat-cepat menuju minimarket yang ada di sekitar hotel.

****

The Last 2%Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang