1

68.9K 509 0
                                    


°°°°

"Mas, odol habis?" tanyaku sembari melongok dari kamar mandi.

"Ya lihat aja sendiri," jawab suamiku yang sedang bikin kopi dengan ketus.

Rumah kami yang minimalis memang berdekatan ke ruangan manapun.

Aku terdiam. Aku pun menaruh kembali sikat gigi ke tempatnya semula. Aku lihat bekas odolnya ternyata sudah dalam posisi tergulung dan isinya pun tak mau keluar lagi.

"Kamu kan sudah lama nggak belanja. Minyak, beras dan kebutuhan lainnya pun sudah habis tuh."

Kepalaku makin berdenyut mendengar rentetan barang kebutuhan yang habis. Barang penting pula.

Aku melengos ke kamar. Mengambil uang di dompet kecil lalu keluar rumah. Aku beli odol dulu saja yang ada di warung.

Dulu setiap bulan aku pasti belanja bulanan untuk stok. Sekarang paling beli satu-satu apa barang yang habis saja. Kondisi keuangan sedang carut marut.

Suamiku sudah beberapa tahun menganggur. Hingga saat ini belum mendapatkan lagi pekerjaan. Untuk menutupi kebutuhan aku berjualan apa saja.

Pagi jualan nasi uduk. Siang jualan keliling perabotan plastik pake gerobak dorong. Penghasilan pun tak menentu. Apalagi bila yang ngutang lebih banyak daripada yang bayar cash. Maka ke rumah paling aku hanya mampu beli tempe.

Semua kujalani tanpa keluhan. Sambil berharap suatu saat akan ada peningkatan yang lebih baik untuk penghasilanku ke depan.

Aku membiarkan suami yang berdiam diri di rumah. Padahal aku sering mengajaknya berjualan. Tapi dia selalu punya banyak seribu satu alasan. Sehingga membuatku lelah untuk bercuap.

Mungkin dia gengsi.

Aku mafhum jika dia malu. Dulu saat kerja, suami memiliki posisi yang lumayan penting. Sebelum pengurangan karyawan menimpanya.

Entah mengapa hingga saat ini lelaki itu masih belum mendapat kerjaan. Aku tak pernah menanyakan.

Pernah sih suatu saat aku mendengar pembicaraan ketika dia sedang menelepon. Yang aku tangkap intinya suami gengsi dengan jabatan yang ditawarkan lebih rendah dari yang sebelumnya.

Dia lebih memilih gengsi daripada kebutuhan untuk meneruskan hidup yang semakin tinggi. Rasanya ketika mengingat keadaan seperti ini aku bersyukur belum memiliki anak. Pantas saja kami belum dipercaya. Untuk hidup berdua saja kami masih kesulitan.

Rencana Allah memang selalu lebih indah.

Setelah membeli odol, aku kembali ke rumah. Baru saja sampai di depan halaman, terdengar suara token listrik berbunyi.

Aku menghembuskan napas kasar.

Aku membuka dompet dan terlihat isinya hanya tinggal yang selembar hijau dan beberapa recehan.

Uang terakhir.

Baiklah. Daripada gelap-gelapan lebih baik aku kembali ke warung yang menyediakan pulsa juga.

Beberapa menit kemudian aku kembali ke rumah. Langsung mengisi token. Setelah selesai aku pun masuk ke rumah.

"Kamu nggak beli beras? Kan beras habis."

Aku menepuk jidat. Sebelum akhirnya kegelapan menyelimutiku.

Adek lelah, Bang!

***

Majikan Hot(Buku Stok Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang