5

35.4K 483 30
                                    


~ Saat Tulang Rusuk Menjadi Tulang Punggung

••••

"Apa maksudmu bercerai?"

"Ya pisahlah. Lagian kelakuan kamu semakin kesini semakin aneh. Lama-lama aku juga nggak tahan kalau kamu nggak ada perubahan sama sekali. Sebagai lelaki kamu tak ada rasa tanggung jawab sama sekali. Membiarkanku menanggung beban kehidupan sendiri. Kamu ngapain aja selama ini, Mas? Tidakkah ada keinginan untuk membantu meringankan bebanku?"

Lelaki itu terlihat membuang muka. Enggan menatapku.

"Kamu mau usaha apapun akan kuhargai. Yang penting ada keinginan untuk berusaha. Bukan malah berdiam diri tak jelas. Kadang ketika aku benaran nggak pegang uang tapi kebutuhan primer wajib dibeli membuat kepalaku berdenyut memikirkan semuanya. Kamu? Pernahkah berpikir sesuatu tentang keuangan kita? Tentang kelangsungan rumah tangga kita?"

Lelaki itu menatapku kembali. Membuatku memandang sengit lelaki itu. Selama ini aku diam menahan diri karena masih menghargainya sebagai seorang imam. Tapi di saat aku terus mengalah malah harga diriku terus diinjak.

Namun entah apa yang merasukinya, tiba-tiba lelaki itu mencengkram leherku. Mencekikku dengan wajah memerah tanpa sempat aku melakukan perlawanan. "Sudah berani melawan kamu ya? Hah! Baru bisa kerja aja belagu! Ngelunjak!"

Aku hanya tertawa sinis. Aku sudah berhasil membangunkan macan yang sedang tertidur.

Aku pun memejamkan mata, menikmati setiap kesakitan yang lelaki itu ciptakan.

Tanpa perlawanan.

Jika aku harus mati ditangan lelaki itu aku ikhlas. Aku sudah lelah dengan hidupku. Toh, aku hidup sendiri. Takkan ada yang kehilangan atau bahkan menangisi kepergianku.

Daripada bunuh diri dosa, mungkin ini jalan satu-satunya mempercepat kematianku.

"Bu-bunuh a-aku, Mas. Lakukanlah. Aku ikhlas."

Napasku sudah diujung tanduk. Aku akan menyambut malaikat maut dengan senyuman.

"Tidak akan semudah itu kamu mati. Dan tidak akan semudah itu aku mengabulkan permintaan ceraimu!"

Lelaki itu pergi setelah melepaskan cengkeraman dan membantingku ke lantai. Aku mencoba menghirup napas dengan rakus. Terasa nyeri leher dan sekujur badanku.

Aku tergugu tanpa berusaha untuk bangun. Menelungkupkan wajah dilantai yang dingin. Biarlah untuk sementara seperti ini dulu. Aku ingin sedikit meratapi kehidupanku yang rumit walau hanya sebentar saja. Entah mengapa semakin dewasa, hidupku jadi penuh drama seperti ini.

Beberapa menit terlewati, hanya keheningan rumah yang menemani. Bahkan suara cicak pun tak terdengar.

Akhirnya setelah puas menangis, aku berusaha untuk bangkit lagi. Ingin melanjutkan kembali makanku yang sempat tertunda.

Ya. Efek menangis membuat perutku meronta kembali minta diisi.

Aku memang tak pernah malu untuk mengeluarkan air mata di saat sendiri seperti ini. Karena dengan begitu, perasaanku akan sedikit lega jika sudah menangis. Setidaknya aku sudah mengeluarkan sedikit kepedihanku sejenak.

Jangan pernah takut menangis, bila itu bisa meringankan beban di hati. Entah aku menemukan kalimat itu di mana. Aku comot saja lalu kupraktekan langsung. Lumayan cukup mujarab juga. Setidaknya bisa mengurangi sedikit rasa sesak di hati.

Pun aku harus mengerjakan bahan untuk kumasak dini hari nanti. Bila tidak dari sekarang, bisa-bisa nasi udukku dan kawannya telat matang. Lalu pelangganku kabur kan berabe. Kalau aku tidak jualan, sayang bahan yang sudah aku beli.

Majikan Hot(Buku Stok Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang