7

30.3K 415 34
                                    


~ Saat tulang rusuk menjadi tulang punggung

••••

Aku berdebar menunggu apa yang akan terjadi.

Pintu kamar pun terbuka. Menampilkan sosok Mas Arman yang terlihat kusut. Baju yang dipakainya sudah berbeda dengan yang kemarin. Entah tidur di mana. Aku tak peduli.

Netra kami pun beradu.

"Sekarang aku tau kenapa kamu sudah berani meminta cerai," bibirnya tertarik ke atas, seperti meremehkan.

Aku mengernyit mendengarkan pernyataannya. "Kenapa?"

"Kamu selingkuh!"

Mataku membulat mendengar ucapannya. Tuduhan tak berdasar dari mana itu. "Apa maksudmu? Selingkuh sama siapa pula."

"Nggak usah ngeles. Aku sudah punya buktinya. Dengan si lelaki berkemeja putih," seringainya.

Aku berpikir sejenak dengan ucapannya. Apa maksudnya Si mas tuan langganan yaa. Perasaan interaksiku selama ini masih dalam batas wajar. Nggak ada yang aneh.

"Mau ngancem ceritanya? Nggak mempan. Bodo amat mau disebarin juga. Toh, aku nggak ngerasa tuh."

"Bukan ngancem sih. Tapi ini bisa dijadiin alat untuk sumber keuanganku." Senyum menyebalkan tercetak di wajahnya. "Lagian kamu jangan terlalu ngarep bisa dijadiin istri sama dia. Mana mau pula dia sama kamu. Aku sih yakin, lelaki itu cuma mau manfaatin kamu doang. Jangan gampang baper jadi cewek."

"Mau aku baper apa enggak, bukan urusan kamu. Daripada sama laki sendiri nggak pernah dibikin baper. Biarin aja aku nikmatin dibaperin lelaki lain," balasku berani.

"Ngapain juga baperin kamu. Nggak ada menariknya gini. Dekil, item, idup pula. Nggak bikin nafsu. Harusnya kamu nyadar diri siapa diri kamu ini. Cantik nggak, punya duit nggak, ngarep dengan lelaki itu? Ngaca, oii!"

Aku terdiam mendengar hinaan Mas Arman yang benar. Ada sesuatu yang nyeri di ulu hati. Aku juga nyadar diri siapalah aku ini. Nggak usah diperjelas juga.

Lelaki ini kalau ngomong emang nggak pernah disaring.

"Lalu apa hubungannya denganmu? Kalau emang ngerasa aku nggak guna kenapa masih pulang ke sini? Emang situ jadi laki udah guna?" tanyaku berang.

Plak!

"Nggak usah ngomong macem-macem kamu. Baru bisa kerja jadi pembantu dan tukang nasi uduk aja belagu!"

Lelaki itu dengan segera melangkah keluar kamar tanpa merasa bersalah.

Aku mengusap pipi yang terasa pedih. Bahkan yang aku heran air mata pun sudah tak ada yang bisa keluar. Luka dan air mata yang sering diberikannya, membuatku semakin menyadari bahwa aku harus segera keluar dari neraka ini. Kalau bukan diriku yang bertindak, maka hingga kiamat pun aku akan terus tersiksa.

Aku harus segera berani mengambil tindakan. Sebelum aku mati konyol.

***

"Tuh, kan sembab lagi? Habis nangis lagi? Merah pula. Itu bekas tamparan bukan?" Si Tuan Mas langganan mengagetkanku dengan kehadirannya yang mendadak.

Aku masih merapikan dan menata dagangan di meja. Tapi si Tuan Mas sudah datang sepagi ini.

Aku bingung harus menjawab apa.

Aku pun memilih berpura-pura sibuk dengan merapikan yang sudah rapi.

"Eh, malah dicuekin. Nggak usah sok sibuk gitu kalau nggak mau jawab. Saya lapar nih. Tolong buatkan pesanan seperti biasa ya."

Majikan Hot(Buku Stok Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang