6

32K 427 20
                                    


~ Saat tulang rusuk menjadi tulang punggung

••••

Aku menatap puas hasil kerjaku. Rendang, sayur daun singkong, kentang balado. Tadinya mau aku kasih pete. Tapi lupa nggak nanya. Si Mas langganan suka atau tidak makan gituan. Jadi aku pilih yang aman saja.

Sebenarnya aku mau langsung pulang. Tapi aku sudah diwanti untuk bercerita. Kalau aku nggak nurut nanti langsung dipecat bagaimana.

Tak ada pilihan. Selain mengikuti tuan majikan langganan. Aku pusing mau manggil dia apa.

Suara deru mesin mobil terdengar memasuki halaman. Aku mengintip dibalik tirai. Memastikan siapa yang datang.

Raut wajah lelaki itu terlihat lelah. Tapi tetap tak mengurangi pesonanya. Dibilang tampan banget sih nggak. Dibilang jelek juga tidak. sedap dipandang gitulah. Manis. Nggak bosenin. Pokoknya saat menatap rasanya tak mau mengalihkan pandangan.

Mumpung aku mengintip dibalik tirai, jadi aku bisa memandang sepuasnya. Kapan lagi punya kesempatan langka seperti ini. Aku jadi terkikik dengan tingkah polah sendiri yang absurd.

"Awas kesemsem loh mandangin terus," ucap si lelaki saat memasuki rumah dan beradu pandang denganku. Ada senyum kecil saat dia mengatakan itu.

"Ehh. Anu ... itu." Aku garuk-garuk kepala yang tak gatal. Nyengir tidak jelas. Bingung mau ngomong apa. Mukaku entah seperti apa bentuknya. Malu sekali. Yang bikin aneh, kok dia bisa tau sih kalau aku merhatiin.

Dikira kelakuanku aman. Ternyata dia malah tau. Kalau sudah begini mau ditaro di mana mukaku.

"Merah banget mukanya. Malu yaa. Hahaaha."

Aku hanya bisa menunduk dalam. Tak berani menatap.

"Lucu ya. Si Mbak nasi uduk ternyata wanita pemalu. Oiya, saya mau mandi sebentar. Setelah itu saya siap mendengarkan. Awas jangan kabur. Nanti saya pecat!" Setelah mengatakan itu, ia berlalu pergi.

"Ancamannya ngeri. Masa baru kerja sehari udah dipecat," cibirku.

Aku pun melangkah ke ruang televisi. Di sana ada rak buku berukuran sedang yang berisi khusus novel. Buku karya ilmiah berada di rak berbeda.

Berbagai macam buku tersedia sesuai dengan penempatannya.

Aku mengambil salah satu buku novel. Judulnya cinta wanita biasa. Nama pengarangnya sih wanita. Aku lihat sekilas potonya terlihat cantik juga.

"Sepertinya seru."

Aku terduduk di lantai yang terasa dingin saat menyentuh kulit. sambil menyender di sebelah sofa dengan kaki di luruskan. Aku tak berani duduk di sofa empuk itu. aku cukup tau diri walau si mas langganan baik hati dan tidak sombong.

Tanpa terasa aku pun tenggelam dalam cerita yang kubaca.

"Serius amat bacanya. Dipanggil beberapa kali ampe nggak denger."

"Eh. Maafkan saya, Tuan. Saya nggak denger." Aku segera meletakkan buku bacaan, lalu melihat si mas langganan sudah berpenampilan segar dengan rambut sedikit basah dengan aroma sabun yang menguar memenuhi indera penciuman. Lelaki itu sudah terduduk di sofa dengan manis.

Dan aku selalu suka wanginya

Kaos kerah merah dan celana pendek selutut yang dipakainya, membuat penampilannya terlihat santai.

Aku menelan ludah lalu segera menunduk. Tak kuasa menatap ciptaan Tuhan yang indah ini lama-lama.

Ada sesuatu yang istimewa, entah apa, bila memandangnya. Membuatku merasa terjerat dalam sesuatu yang aku tidak mengerti.

Sungguh berbahaya.

"Mau sampai kapan menunduk terus? Sini duduk di sofa."

"Saya di bawah saja, Tuan."

"Kalau dikasih tau dan nggak pake membantah gitu nggak bisa ya?"

"Eh. Apa tidak apa-apa, Tuan?"

"Udah duduk di sofa saja. Saya pegel lihatnya kalau mesti ke bawah terus."

Dengan sedikit ragu aku terbangun dari duduk dan melangkah menuju sofa. Lalu mendudukinya dengan perlahan.

Empuk sekali. Bahkan kasur di rumah saja kalah empuknya. Serasa ingin rebahan. Pantas saja ada di ruang televisi. Emang enak sambil menikmati waktu luang.

"Ehemmm."

Astaga. Norak sekali hidupku. Sedari tadi malah menikmati keempukan sofa. Aku melirik si mas, lelaki itu terlihat menahan tawa.

Rasanya ingin menghilang begitu saja ditelan bumi.

"Masih mau menikmati sofa atau mau cerita?"

"Hehehe. Tapi Tuan Mas nggak makan dulu? Mumpung masih hangat loh rendangnya." Aku mencoba mengalihkan perhatian. Lumayan kan kalau dijeda makan. Masih ada waktu beberapa menit.

"Saya tau ini pengalihan. Tapi tawarannya begitu menggoda. Sulit ditolak. Baiklah. Ayo temani saya makan."

Baru saja mulutku hendak protes, telunjuk lelaki itu sudah menempel di bibir. Lalu tanpa merasa bersalah sudah melangkah pergi meninggalkan aku yang masih terbengong. Apa-apaan itu tadi. Cepet sekali gerakannya.

Aku pun mengekorinya ke ruang makan.

Terlihat lelaki itu sedang mengambil sendok dan piring. Dengan sigap aku mengambil alih. Mengambil nasi hangat untuknya.

"Segini cukup kan, Tuan?"

Lelaki itu melihat ke arah piring, lalu mengangguk. Aku pun menaruhnya di meja. Setelah duduk ia mulai mencicipi rendang. Matanya terlihat terpejam saat memasukan daging itu.

Aku menunggu responnya dengan harap cemas.

"Masakan kamu selalu lezat. Berarti emang itu bakat alami. Istilahnya kamu masak sambil merem aja pasti tetap enak."

Aku tersenyum senang mendengarnya. Syukurlah kalau lelaki itu menyukai masakanku. Jadi pekerjaanku aman.

"Sini duduk. Ikut makan. Biar kamu ada energi untuk bercerita. Pasti ceritanya bakal menguras emosi."

"Serius, Tuan? Masa saya duduk semeja sama Tuan .... "

"Emang kenapa? Manusia itu di hadapan Tuhan tetap sama. Yang berbeda hanya ketakwaannya. Jadi duduk dan makanlah dengan baik."

Dengan ragu aku menarik kursi dan duduk dipisahkan satu kursi di sebelahnya.

Kami pun mulai makan dalam diam.

***

Aku termenung menatap langit-langit kamar. Mengingat percakapan tadi sore bersama Tuan Mas Langganan. Setelah menceritakan semua masalahku, ada sesuatu yang plong sekali. Terasa lega. Seolah beban di pundak yang menggelayut langsung sirna.

Padahal itu hanya bercerita. Ternyata efeknya luar biasa untuk diriku. Selama ini aku menyimpan beban seorang diri. Terbiasa sendiri. Karena hal itu pula sehingga membuatku jadi pribadi yang tertutup.

Bahkan air mata pun menjadi saksi saat aku bercerita. Lelaki itu sungguh pendengar yang baik. Bahkan memberikanku masukan.

Selepas isya aku baru bisa pulang. Lumayan lama juga kami mengobrol.

Hanya ada sarannya yang hingga kini masih aku pikirkan. Aku akan berani melakukannya atau tidak.

Brukk!!

Suara pintu ditutup dengan keras menghentakkan lamunanku. Pasti itu Mas Arman. Masih berani juga dia pulang.

Dengan sedikit berdebar aku menunggu apa yang akan terjadi. Aku pun mencengkeram selimut untuk menutupi ketakutan.

Apapun yang akan terjadi padaku, aku siap!

***

Saran apa hayoooo dari si tuan mas langganan. Panjang bener panggilannya. Hihi

Majikan Hot(Buku Stok Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang