10

23.5K 374 20
                                    


°°°°

Hanya keheningan yang tercipta diantara kami. Aku masih terdiam menunggu jawaban dengan hati tak keruan. Walau ditolak aku tak akan mempermasalahkannya. Aku hanya mencoba meraih peruntungan.

Bukankah bahagia harus diperjuangkan?

Aku menarik-narik ujung selimut untuk menyembunyikan gelisah. Hingga akhirnya aku tak tahan juga untuk tak berucap. "Ma-maaf sebelumnya, Tuan ...."

"Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan?"

"Sa-sadar. Maaf jika saya lancang Tuan. Saya ...."

"Kalau begitu urus dulu perceraian kamu. Baru nanti bisa mengambil langkah selanjutnya. Kelak jadi atau tidaknya bersama saya nanti, yang jelas kamu tetap harus berbahagia bukan?"

Aku menatap Tuan Aska dengan raut pilu. Tak suka dengan ucapan yang keluar dari bibirnya. Justru bahagiaku adalah bersamanya. Tapi apa yang diucapkan Tuan Aska itu memang benar.

Aku harus bahagia dengan caraku sendiri.

Entahlah. Kadang aku sendiri pun bingung sebenarnya apa itu definisi 'bahagia'? Bisakah aku membelinya di toko? Atau di suatu tempat yang jauh untuk aku mendapatkannya. Kalau ada aku akan ke sana untuk menjangkaunya. Sejauh apapun itu.

"Mari kita pulang. Saya antar ke rumah."

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Tak berselera untuk berbicara.

***

Pagi ini aku tidak berjualan. Lenganku masih sedikit nyeri untuk melakukan aktivitas yang berat. Salah sendiri memang telah melakukan hal yang bodoh. Hingga jadi merepotkan diri sendiri.

Aku tak punya tabungan sama sekali. Mana rumah sebentar lagi harus bayar. Double bodoh bila mengingat kejadian lalu. Kepalaku jadi sedikit nyeri karena diajak terlalu keras berpikir untuk memikirkan jalan keluar.

Saat aku pulang semalam ternyata tak ada siapapun di rumah. Mas Arman entah di mana. Bahkan ketika di rumah sakit tak sekali pun ia menjenguk. Aku memang tak seberharga itu di matanya.

Aku mencoba merogoh dompet, saku, dan semacamnya. Siapa tau ada uang nyelip.

Ah, ya. Aku ingat. Tuan Aska kan memberiku uang belanja. Mungkin bisa aku pakai sedikit untuk modal nasi uduk. Nanti bayarnya aku nyicil atau potong gaji. Yang penting kan si tuan mas taunya tiap hari makanan selalu tersedia di meja. Ye kan?

Ide bagus.

Pagi ini aku berencana ke pengadilan agama terlebih dahulu. Ingin tau biaya sidang itu berapa. Sehingga aku bisa mengumpulkan uang untuk biayanya. Baru nanti lanjut belanja. Walau tanganku masih nyeri tapi hidup harus terus berjalan. Aku tidak boleh kalah oleh rasa sakit. Kalau tidak nanti aku tidak bisa makan.

Setelah mandi dan bersiap, aku pun keluar rumah lalu mengunci pintu.

Perjalanan dari rumah ke jalan raya sekitar dua ratus meter. Bisa sekalian hemat sambil olahraga pagi.

Duitku sudah semakin menipis.

Berada di sebuah kota yang termasuk sibuk, Bekasi, memang tidak ada duanya. Para karyawan yang hilir mudik memberi keuntungan sendiri bagiku. Bisa berjualan sarapan pagi.

Simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan. Mereka bisa sarapan enak, aku bisa dapat uang. Maka sebisa mungkin aku masak dengan penuh cinta. Memberikan makanan enak untuk mereka, para pelanggan setia.

Hobi yang dibayar itu emang menyenangkan.

Setibanya di jalan raya, aktifitas begitu padat. Sudah berkali kali menyetop angkot dan isinya selalu penuh oleh anak sekolah dan para pekerja.

Baiklah. Aku harus bersabar lagi.

"Nesa? Kamu lagi apa di sini?" Suara seorang wanita menyapaku. Saat aku menoleh ternyata tetangga, rumahnya hanya dipisahkan tiga rumah dari tempatku. Tapi yang aku tau wanita ini jarang di rumah.

"Irma? Kamu tumben ada di sini. Sudah lama juga kita nggak jumpa," sapaku riang.

"Aku lagi berkunjung ke rumah Ibu. Biasalah. Ngasih uang jajan," cengirnya.

Irma ini berpenampilan modis. Bajunya selalu seksi dengan kulit yang mulus. Hasil perawatan salon tentunya. Sedikit banyak aku tau tentang Irma. Ia seorang pekerja malam. Tak sengaja aku pernah memergokinya melakukan transaksi.

Aku tak pernah menjudge apapun apalagi memandangnya hina. Setiap orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Dan aku menghargai pilihan hidup Irma.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Iuran yang mendesak untuk segera dibayar, belum lagi biaya sidang yang sepertinya tidak sedikit, Tuan Aska yang sebentar lagi mau pergi, aku berkejaran dengan waktu. Semua berkelebatan di kepalaku seperti kaset rusak. Mendesakku untuk segera melakukan sesuatu.

Melihat Irma, membuatku jadi memiliki sebuah ide untuk keluar dari semua masalahku.

"Irma, kamu mau menolongku? Aku butuh uang dalam waktu cepat!" tanyaku penuh harap kepada Irma yang terlihat syok saat mendengar ucapanku.

***

Hayooo Nesa mau ngapain tuh?

Majikan Hot(Buku Stok Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang