3

40.6K 474 6
                                    


••••

"Kamu yakin mau ambil kerjaan ini?"

"Iya, Bu. Saya kan butuh tambahan juga."

"Hemmm ... gimana yaa. Boleh deh kalau kamu merasa mampu. Nyucinya paling seminggu dua kali. Ponakan saya juga masih bujang sih. Jadi nggak bakal terlalu banyak. Cuma kamu kudu hati-hati ya cuci bajunya. Jangan ampe rusak."

Aku mengangguk dengan semangat. Rasanya senang sekali bisa mendapat tambahan kerja. Apalagi cuma seminggu dua kali. Pasti aku bisa mengerjakan tanpa harus mengganggu kerjaan utamaku yang lain.

"Besok ke rumah saya dulu aja. Nanti saya kasih tahu lebih detailnya. Kerjaan dan gajinya."

"Baik, Bu. Besok saya ke rumah Ibu. In sya Allah."

Si ibu pun berpamitan. Aku memandang kepergiannya dengan hati yang penuh syukur.

Setelah si ibu hilang dari pandangan, aku pun melanjutkan kembali perjalananku. Hari ini menjadi hari yang luar biasa untukku.

Aku kembali ke rumah selepas adzan Ashar. Kadang sampai Maghrib. Tergantung sejauh mana aku berkeliling.

Setelah meletakkan gerobak di depan rumah, aku terduduk sebentar melepas penat di teras rumah. Tidak ada suara apapun di dalam. Mungkin suamiku sedang tertidur atau keluar.

Semakin ke sini, suamiku semakin berubah. Padahal di mata orang lain, dia lelaki yang santun dan baik. Apalagi di hadapan orang tuaku. Aktingnya terlihat luar biasa.

Jadi siapa yang akan percaya padaku bila aku sampaikan yang sebenarnya. Betapa lahir batin aku tersiksa. Sedangkan orang tuaku saja lebih percaya orang lain daripada aku, anaknya.

Aku pernah menyampaikan keinginan untuk berpisah. Tapi reaksi orang tuaku sudah tertebak. Mereka melarang. Terutama Ibu.

"Arman itu lelaki baik. Mana mungkin seperti itu. Mau di mana lagi Ibu temukan menantu luar biasa seperti suamimu. Udah kamu nggak usah macem-macem. Emang enak apa jadi janda. Penuh cibiran dari orang lain. Bikin malu keluarga saja. Mending kamu jadi istri yang bener. Jangan banyak mengeluh."

Semenjak saat itu aku tak pernah lagi menyampaikan keinginan kepada orang lain. Tak pernah lagi aku ceritakan apapun yang aku alami. Takkan pernah ada yang mau mengerti. Apalagi peduli terhadapku.

Aku kadang berpikir, sebenarnya untuk apa aku hidup. Bila terus derita yang aku rasakan. Ingin rasanya malaikat maut segera bertandang menjemputku. Mungkin dengan begitu aku takkan pernah merasakan kesakitan lagi.

Mas Arman terhadap kawannya pun luar biasa care, royal dan baik. Entah kenapa terhadap istri sendiri penuh perhitungan dan terkesan tak peduli.

Sepertinya di masa lalu aku banyak dosa.

Merasa lelahku sudah sedikit hilang, aku pun masuk rumah. Mandi sekalian shalat Ashar.

Penghasilanku hari ini termasuk lumayan dibanding hari sebelumnya. Banyak yang bayar utang. Alhamdulillah.

Berapa pun yang kudapat, aku selalu mensyukurinya. Yang penting aku masih bisa ketemu nasi dan kawannya.

Kulihat suami ternyata sedang tertidur pulas di kursi. Piring kotor dan sisa makanan berserakan di meja membuatku harus menghela napas.

Lelaki ini dulu lelaki yang baik terhadapku, sehingga aku mau dipersuntingnya. Tapi semenjak menikah sikapnya sedikit demi sedikit mulai berubah.

Ah, lebih baik aku mandi.

***

"Si Mas itu ke mana ya. Kok belum datang. Mana aku mau beres-beres pula." Aku terus celingukan mencari sosok lelaki kemarin. Tapi hingga jam menunjukkan pukul tujuh pagi,  batang hidungnya tak nongol jua.

Majikan Hot(Buku Stok Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang