2

47.9K 438 2
                                    


°°°°

"Mbak, saya mau nasi uduknya satu. Gorengannya juga ya." Seorang lelaki dengan wangi maskulin dan berpakaian rapi, yang kutaksir berusia sekitar dua puluh lima, menyambangi tempat jualanku.

"Dibungkus apa makan sini, Mas?"

"Sini aja." Lelaki itu pun terduduk di kursi yang kusediakan.

Aku pun dengan semringah membuatkan pesanannya. Pagi-pagi dapat pemandangan indah. Apalagi jarang sekali aku bertemu lelaki berpenampilan seperti ini. Aku hanya tertawa kecil.

"Mas ini orang baru di sini ya? Rasanya saya baru lihat."

"Iya, Mbak. Saya dipindahtugaskan ke daerah sini untuk sementara."

Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasannya. "Ini nasi uduknya, Mas. Selamat menikmati. Minumnya mau teh hangat atau air putih?"

"Teh hangat saja."

Aku pun mengambil gelas dan menuangkan teh hangat. Menaruhnya di sebelah piring.

"Nasi uduknya enak loh, Mbak. Wahhh senang sekali saya bisa menemukan tempat sarapan pagi yang enak gini. Saya bisa jadi langganan sini nih."

Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya. Mukaku bahkan terasa panas rasanya. Belum pernah ada yang memuji seterang itu padaku. Bahkan suamiku sendiri tidak pernah memuji masakanku selama empat tahun bersamanya.

"Jadi berapa semuanya, Mbak?"

"Sepuluh ribu, Mas."

Lelaki itu mengeluarkan uang selembar merah. "Nih, Mbak."

"Nggak ada uang pas ya, Mas? Saya belum ada kembalian."

"Ambil aja kembaliannya. Untuk makanan selezat ini harga segitu malah lebih dari pantas."

Aku hanya terpaku mendengar ucapannya. Lalu memandang uang tersebut. Duh, mimpi apa semalam. Dapat rezeki tak terduga.

"Te-terima kasih, Mas," ucapku menahan haru.

"Masama. Besok sisain ya. Jangan sampai saya kehabisan."

"Siap, Mas!"

"Saya pamit." Lelaki itu tersenyum sopan, kemudian beranjak pergi. Aroma wanginya masih tertinggal. Membuatku memejamkan mata membauinya.

Segar.

"Alhamdulillah. Dapat langganan yang baik hati dan bonus ganteng. Duh, berasa abegeh aku. Hihihi."

Tak butuh waktu lama, jualanku ludes tak bersisa. Lebih cepat dari biasanya. Tak henti aku bersyukur.

Aku pun membereskan perabotan dan membawanya ke rumah.

Ya. Aku jualan depan rumah. Di daerahku banyak kontrakan dan karyawan pabrik. Jadi aku melihat itu sebagai peluang untuk jualan sarapan pagi.

Lelah memang untuk menyiapkannya sendiri sedari sebelum Subuh. Tapi ini adalah satu takdir yang harus aku jalani. Selagi halal apapun akan kulakukan.

Setelah beres jualan, aku harus ke pasar lagi untuk membeli bahan. Setelah dari pasar, satu jam kemudian aku akan berangkat lagi untuk jualan perabot.

Begitulah hari-hari yang harus aku jalani setiap hari.

***

"Nggak ada lauk lain apa? Tiap hari tempe terus. Bisa budeg aku lama-lama!" Suamiku membanting tutup saji sehingga membuatku yang sedang menyiapkan barang jualan sedikit terlonjak.

"Aku hanya mampu beli itu, Mas."

"Kamu kan jualan nasi uduk plus jualan perabotan. Masa nggak ada duitnya. Yang benar saja. Ngapain capek jualan kalau gak ada hasil!"

"Kebutuhan lagi naik, Mas. Keuntunganku pun jadi semakin tipis. Sedangkan harga nggak mungkin aku naikin. Pelanggan bisa kabur nanti."

"Hah! Banyak alasan kamu. Sini bagi duit. Aku mau beli ayam di warteg."

Aku merogoh dompet kecil, mencari uang sepuluh ribuan. "Cuma ada delapan ribu, Mas."

"Mana cukup segitu. Dua puluh ribu sini."

"Nggak ada lagi, Mas."

"Hah! Semenjak sama kamu hidupku jadi semakin kere. Payah!"

Lelaki itu menyambar uang yang kupegang lalu pergi berlalu begitu saja. Meninggalkanku dalam kesakitan yang terus berulang.

Kadang terbersit ingin pisah. Tapi status janda selalu menjadi momok yang menakutkan. Belum lagi cibiran orang lain yang akan memandang sebelah mata. Membuatku selalu berpikir ribuan kali untuk melakukannya.

Setelah berbenah, aku mulai bersiap untuk berjualan keliling. Kulitku sedikit menggelap semenjak berjualan. Terik matahari menjadi makanan sehari-hari.

Kadang aku iri ingin membeli skincare seperti wanita lain. Melihat wajah glowing dan mulusnya membuatku selalu berdecak kagum. Tapi apalah daya. Uangku belum cukup untuk membeli itu semua.

Sekarang aku harus fokus demi sesuap nasi terlebih dahulu.

Baiklah. Mari kita berangkat.

***

"Mbak Nesa!" Suara seorang wanita memanggil membuatku menghentikan langkah. Aku pun menoleh dan melihat salah satu langgananku setengah berlari menghampiriku.

"Cepet banget sih jalannya, Mbak. Aku panggilin kok jalan terus. Aku lagi butuh ember kecil buat ngepel. Ada nggak, Mbak?"

"Oalah. Maaf ya. Aku nggak denger, Bu."

"Iya. Nggak papa."

Aku pun segera mencari pesanannya. Beruntung masih ada satu lagi. Sehingga aku tak mengecewakannya yang sudah susah payah mengejarku. "Alhamdulillah masih ada. Nih, Bu."

"Syukurlah. Sama tempat bumbu kalau ada. Yang lama sudah buluk."

Dengan sigap aku mengambilkan pesanan. Lalu menaruhnya di pesanan pertama.

"Jadi berapa semuanya?"

"Dua puluh lima, Bu."

"Nih uangnya. Pas ya."

"Makasih, Bu."

"Oiya. Mbak Nesa kalau punya kenalan saya ada ponakan yang butuh jasa cuci. Kalau misal ada bolehlah hubungi saya."

"Cuci baju?"

"Iya."

Aku terdiam. Lumayan nih kalau bisa aku yang ngambil kerjaan ini. Buat tambahan.

"Kalau saya aja gimana, Bu?" tanyaku penuh harap.

Si ibu langganan memandangku tanpa berkedip. Aku menunggu jawabannya dengan harap cemas.

***

Majikan Hot(Buku Stok Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang