"Maksudnya apa? Jangan bilang kamu ingin seperti apa yang kupikirkan?" tanya Irma.
Aku hanya mengangguk cepat. "Betul. Kamu bisa bantu aku? Aku tidak tau lagi harus cari uang ke mana dalam waktu dekat," ujarku dengan putus asa. Aku benar-benar bingung harus bagaimana lagi. Semua begitu mendesak. Membuat kepalaku berdenyut nyeri efek diajak terlalu keras untuk berpikir.
Irma memandangiku dari atas sampai bawah. Mungkin menilai sekiranya aku masih laku atau nggak.
"Kalau kamu merasa yakin, aku sih oke aja. Kebetulan pelanggan royalku ada permintaan wanita baru."
"Be-benarkah? Ta-tapi ... aku tidak ahli," terangku.
"Justru lelaki ini nyari yang seperti itu. Tenang aja. Kamu tinggal menikmati." Irma meyakinkan.
Aku semakin gugup mendengar cerita Irma. Benarkah apa yang aku lakukan? Jalan yang tak pernah kusangka akan aku ambil. Namun keraguanku semakin sirna ketika mengingat kebutuhan yang semakin mendesak.
"Ba-baiklah."
"Kamu pasti nggak punya baju seksi kan? Ayok, aku ajak kamu belanja dan ke salon. Nggak mungkin kan kamu mendatangi pelanggan dengan kondisi dekil seperti ini. Aku mau make over kamu."
Aku hanya mengangguk pasrah mendengar usulan Irma. Aku memang tidak tahu apapun. Jadi aku terima saja usulannya.
"Let's go!"
***
Sesekali aku menarik-narik dress mini yang kukenakan yang hanya melewati bokong. Berwarna merah dengan bolong area belakang sehingga membuat punggung terekspos. Aku sedang berada di apartemen Irma sebelum beraksi ke tempat yang dituju
Ternyata mencari uang tetap sesulit ini. Walau dengan cara tercepat sekalipun.
"Bajunya apa nggak ada yang lain? Berasa nggak pake baju aku, Ir," keluhku.
"Ya masa iya kamu mau pakai gamis. Lagipula ini dress cocok banget buat kamu. Kesan nakalnya dapat. Ini setelah make up sentuhan terakhir, maka penampilan kamu sudah perfecto! Nackal!"
Sedari tadi mukaku entah diapain oleh Irma. Anteung sekali wanita ini mendandani hingga muka dan penampilanku entah jadi apa.
"Nggak harus sependek ini juga kan?"
"Udah jangan banyak omong. Yang penting kamu bisa dapat uang cepet kan? Lebih baik kamu pikirkan gaya apa yang akan mau kamu pakai."
Rasanya membayangkannya saja sudah sukses membuatku mual. Tapi tak ada pilihan lain. Daripada aku terus menerus merepotkan Tuan Aska, lebih baik seperti ini. Aku harus mandiri.
"Selesai! Sekarang ngaca. Kamu pasti akan pangling melihat penampilan sendiri."
Aku menuruti ucapan Irma menatap kaca tinggi di sampingku. Pantulan wanita di kaca tersebut terlihat asing. Aku tak mengenalnya. Aku meraba wajahku sendiri. "I-ini ... beneran aku, Ir?"
"Kenapa? Cantikkan?"
Aku hanya mengangguk. Ternyata dengan uang penampilan pun bisa berubah dengan drastis. Polesan yang tidak terlalu berlebihan, bibir yang merah menyala, ditambah pakaian seksi yang aku kenakan, sungguh seperti bukan aku.
"Ayo, kita jalan. Pelanggan kamu udah otewe. Nanti aku antar kamu ke hotel. Kamarnya di lantai lima nomor 300. Nanti kamu tinggal naik lift. Jangan lupa minta kuncinya di resepsionis. Sudah dititipkan di sana. Nanti kamu nggak akan bisa naik lift ke lantai yang dituju.," terang Irma.
Aku hanya mengangguk-angguk mendengar penuturan Irma. Tanganku sudah berkeringat dingin sedari tadi memikat apa yang akan terjadi di depan nanti.
Melayani pria hidung belang. Yang benar saja!
Aku mencoba menarik napas pelan untuk meredakan gejolak dalam dada. Menghirup dan melepaskan. Gitu terus hingga aku merasa lebih baik.
"Sentuhan terakhir. Stiletto merah."
Aku menelan ludah melihat hak stiletto tersebut. "Apa nggak ada yang lebih rendah? Aku biasa juga pakai sendal jepit masa harus pakai ginian. Bisa keseleo aku, Ir."
"Yakali udah cantik gini pakai sendal jepit. Udah buruan pake. Jangan banyak protes. Cantik itu memang harus rela merasakan sakit."
Dengan enggan aku pun memakai stiletto merah tersebut dengan hak entah berapa centi. Aku mencoba berjalan pelan untuk menyesuaikan. Cantik itu emang sakit.
"Ready?"
"Ready."
"Let's go!"
Dengan hati gamang aku pun mengikuti langkah Irma yang terlihat berjalan dengan anggun. Wanita itu pun terlihat cantik dengan pakaian tak kalah seksi seperti yang aku kenakan. Aku hanya bisa berdoa semoga suatu saat Irma akan bertaubat dan menemukan kebahagiaannya sendiri.
Suasana apartemen begitu sepi. Membuat langkah sepatu kami yang beradu di lantai terdengar jelas. Mungkin penghuni sudah banyak yang tertidur karena memang waktu yang sudah beranjak malam.
Tiba diparkiran kami pun memasuki mobil mewah Irma lengkap dengan supirnya. Aku hanya bisa menatap takjub dengan apa yang kulihat. Sepertinya mainan Irma kelas kakap. Bukan ecek-ecek.
Beberapa belas menit kemudian akhirnya kami tiba di sebuah hotel bintang lima. Jantungku semakin bertalu mengingat apa yang akan menimpaku dalam waktu dekat.
Mobil pun berhenti di parkiran tak jauh dari lobby hotel.
"Selamat bersenang-senang Nesa!" ucap Irma dengan riang. Aku hanya tersenyum kaku membalasnya.
Aku turun dari mobil dengan perasaan tak menentu. Mobil Irma pun melaju kembali meninggalkanku yang semakin resah melihat bangunan hotel.
Angin malam yang berhembus mengenai kulit yang tak tertutupi kain, sehingga sukses membuatku meremang.
"Dingin banget. Tapi demi uang cepet apapun akan kulakukan." Setelah meyakinkan diri dengan mantap aku mencoba melangkah menuju lobbi utama.
Namun tiba-tiba ada seseorang yang menarikku dengan tangan membekap mulutku. "Jangan teriak!"
Rasanya aku mengenal suara itu. Maka dengan pasrah aku pun hanya terdiam. Aku digeret entah kemana.
"Apa yang kamu lakukan, Mbak Nesa!" tanya seseorang setelah melepaskan cekalannya.
Aku hanya menunduk tak berani menatap lelaki dihadapanku. Kenapa juga harus bertemu ditempat dan waktu yang tak tepat sih. Kesel aku.
"Bukan urusan Anda, Tuan!"
"Apa? Bukan urusan saya?"
"Iyalah. Anda kan bukan siapa-siapa saya. Untuk apa mencampuri urusan saya. Saya butuh uang cepat dan hanya jalan ini satu-satunya. Jadi tolong jangan halangi saya!" ucapku dengan berani. Biarlah lelaki ini akan menilaiku apa.
Lelaki itu hanya terdiam menatapku. Dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Permisi! Pelanggan saya sudah menunggu!" Dengan hati hancur aku pun berbalik meninggalkan lelaki yang aku cintai. Mungkin setelah ini lelaki itu akan ilfeel terhadapku, dan peluang untuk bersamanya semakin nol. Biarlah. Mungkin kami memang belum berjodoh. Menahan pedih di hati aku mencoba berusaha tegar.
Selamat tinggal Tuan Aska!
Ketika baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ada yang mendekapku dari belakang. Suaranya menggelitik telingaku.
"Bagaimana kalau saya yang akan membelimu!"
***
Yang mau beli bukunya sekarang lagi open PO yaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Majikan Hot(Buku Stok Ready)
RomanceNesa tak menyangka menerima pekerjaan sebagai kuli cuci malah membuatnya bertemu dengan seorang majikan yang baik hati sekaligus seksi dan hot di matanya. Senyuman manis dan aroma maskulinnya selalu mampu membuatnya terhipnotis. Akankah Nesa mampu m...