••••"Si Mas kok ada di sini? Mau ketemu siapa?" tanyaku bingung.
"Hemmm ... ini rumah saya."
"Eh!" Jadi lelaki ini majikanku? Waduh bahaya nih.
"Si Mbak ngapain? Eh tunggu deh. Jangan-jangan si mbak yang kata bude mau kerja di sini ya?"
"I-iya."
"Terus nasi uduknya? Masih jualan?"
"Masih kok. Kan saya ke sini jam delapanan. Beres jualan nasi uduk. Palingan saya udah nggak bisa keliling jualan perabot aja sih."
"Loh, ada jualan lain juga? Keliling?"
"I-iya."
"Wonder woman sekali. Mbak masih muda gini, tapi mau ya kerja panasan. Nggak takut kulitnya rusak dan gosong. Nggak gengsian. Salut saya."
Aku hanya meringis mendengar pujiannya yang berlebihan. Kalau nggak terpaksa juga aku nggak mau panasan. Cuma tuntutan hidup membuatku harus terus berjuang tanpa kenal lelah.
Jadi teringat seseorang yang sudah tak ingin berjuang bersama-sama lagi.
"Saya mau masuk boleh?"
"Eh ... i-iya, Mas. Silakan. Maaf ya."
"Nggak papa. Grogi ya?"
Dia lelaki tipe blak-blakan sepertinya. Bikin aku malu saja dengan kejujurannya.
"Kan merah mukanya. Malu-malu."
Aku tak membalas ucapannya. Takut salah ucap. Jadi diam adalah pilihan yang tepat.
Aku berinisiatif untuk tak jadi pulang. Takutnya majikan baruku ini ada perlu atau ada sesuatu yang ingin di sampaikan.
Aku mengekorinya dari belakang. Ikut berkeliling mengitari rumah. Mengecek hasil kerjaku hari ini.
"Hemmm ... wangi dan bersih. Lantai juga keset gini. Mbak ini serba bisa ya. Apa aja bisa ngerjain. Telaten orangnya."
Duh, tolong. Jangan buat aku terbang ke langit dengan kalimat pujian.
"Wuah, ada masakan juga." Lelaki itu mengambil sendok dan mencicipi hasil prakaryaku. Opor ayam dan capcai.
Aku menunggu reaksinya dengan berdebar.
"Lezat. Beruntung banget yang jadi suami, Mbak. Punya istri serba bisa gini."
Lagi-lagi ucapannya membuatku meringis. Suamiku mana pernah memuji masakanku. Yang ada aku dihina terus.
"Eh, bukannya tugas Mbak itu cuma nyuci ya? Kok merembet ke mana-mana? Apa nggak papa?"
Mukaku serasa panas. Malu. Kalau dipikir iya juga ya. Tugasku kan cuma nyuci. Kenapa jadi merembet kemana-mana.
"Hemm ... anu itu, Mas. Saya ... cuma nggak betah kalau lihat yang berantakan. Maaf kalau saya lancang."
"Pfttt! Hahahaha. Si mbak kok ketakutan gitu. Saya cuma bercanda. Kalau misalkan Mbak mau masak, bersih-bersih ya bagus. Nanti saya tambahin gajinya. Atau Mbak mau full time? Saya kasih gaji lebih dari UMR kalau mau fulltime. Gimana?"
"Maksudnya saya tidur di sini?"
"Kalau mau saja. Kalau nggak ya ga papa. Yang penting kerjanya fulltime. Masak, nyuci, ya gitu-gitu deh. Kerjaan rumah."
Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya. Mendengar tawaran gajinya saja sungguh menggiurkan. Jadi aku nggak begitu repot memikirkan pemasukan tanpa harus pontang-panting mencari setiap hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Majikan Hot(Buku Stok Ready)
RomanceNesa tak menyangka menerima pekerjaan sebagai kuli cuci malah membuatnya bertemu dengan seorang majikan yang baik hati sekaligus seksi dan hot di matanya. Senyuman manis dan aroma maskulinnya selalu mampu membuatnya terhipnotis. Akankah Nesa mampu m...