Tak Perlu Dia Sadari

31 9 1
                                    

Udara dingin menusuk kulit. Hanya seberkas cahaya yang menyinari sudut jalan yang berkelok. Sepi sunyi tak ada satupun orang yang berada. Gelap yang terbentang telah menyeluruh. Samar-samar seorang lelaki menyusuri jalanan yang penuh dengan rumput liar. Suara jangkrik yang menemaninya. Nisan-nisan yang tak dikenal dia lewati. Mengingat beberapa tahun silam dia pernah ke tempat ini. Mencari sebuah nisan yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Batu nisan yang dingin menemani tidur lamanya selama ini. Tetes air mata jatuh perlahan membasahi pelupuknya. Meskipun sekuat tenaga lelaki itu tahan, tetapi tak kuasa air matanya terurai. Tangan lembutnya mengusap nama si pemilik nisan.

"Apa maksud semua ini."

"Semua ini terjadi atas kesalahanku."

"Kenapa karma ini yang digariskan padaku."

Semua tanda tanya terus tertulis dipikiran Reivan. Dirinya masih tak percaya dengan semua kejadian yang menimpanya. Pikirannya masih belum bisa menetralisir. Ingatannya mencoba menelusur 3 tahun silam.

Xxxxxxxxxx

"Van kayaknya lo harus balik ke Auckland, kita tenangin dulu pikiran kita masing-masing,"Tomi dengan wajahnya yang begitu lesu. Setelah pemakaman Andien, Reivan bersandar pada tiang basket di lapangan rumah Tomi. Pakaiannya masih menggunakan serba hitam.

"Lo lihat enggak. Mama Papanya nangis histeris menatap makam anaknya. Semua itu salah gue Tom, salah gue," rasa bersalahnya terus memuncak. Keringat dingin membasahi seluruh pelipisnya. Tangan dinginnya masih terasa semenjak kejadian kecelakaan Andien.

"Bukan salah lo Van. Kita semua enggak salah. Tenangin diri lo. Lo inget kan, semua saksi mata bilang anak kecil itu sudah jatuh di jalanan sebelum kita menabrak," Tomi tetap meyakinkan Reivan untuk tidak menyalahkan dirinya. Beberapa urat nadi dikepalanya menonjol saat Reivan tetap saja menyalahkan dirinya sebagai penyebab kecelakaan.

"Kalo bukan karena gue yang ngejatohin hp Kak Anjar. Kejadian ini enggak bakal terjadi. Lo lihat sendiri kan, Kakak anak kecil itu dari tadi pandangannya sinis ke Kakak lo, lo dan gue. Dia masih nyimpan dendam ke kita Tom," telunjuknya terus menunjuk tepat dimata Tomi.

"Gue capek ngomong sama lo Van. Gue enggak mau masalah ini ngebuat persahabatan kita putus. Lebih baik lo kembali aja ke Auckland dan tenangin pikiran kita," Tomi beranjak dari sandaran tiang berdiri dan kemudian menjauh meninggalkan Reivan sendirian. Tomi tahu dia tidak tega meninggalkan Reivan sendirian. Sorot wajahnya terlihat sangat kacau, masih tidak bisa menerima kenyataan. Beberapa langkah, Tomi membalikkan badannya,"Gue sudah cerita masalah ini ke nyokap bokap lo, mereka nerima ini semua. Mereka setuju ngembaliin lo ke Auckland. 10 menit lagi mereka dateng ngejemput lo." perkataannya terhenti sejenak, "Lo enggak salah Van, itu semua sudah menjadi takdir kehendak-Nya," dia melanjutkan kembali menuju rumahnya.

Xxxxxxxxxx

"Hai adik kecil, maaf aku baru bisa menjengukmu," terdengar lirih ucapannya.

"Hari ini kami bertiga bertemu kembali. Mungkin ini semua menjadi karma, dan Karin yang menjadi perantara kita bertiga bertemu. Namun Karin sekarang menjadi pacar Kakakmu."

Dia Datang,., [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang