ADA 9

27 6 0
                                    

Satu hari sebelum puncak seni di gelar. Hari ini aku berada di antara riuh yang saling berteriak. Meminta pertolongan dengan jarak dekat di ikuti suara tinggi. Gaduh tidak bisa di enyahkan dari suara bising kebingungan. Perencanaan yang di susun seakan hanya lembaran kertas pena yang tidak memiliki fungsinya. Suara ini membuat pening isi kepalaku yang sudah riuh dengan kehidupan.

"STOOOOOP" teriakku kencang yang memecah kebisingan. Semua menatapku heran seperti aku adalah manusia tertuduh di antara mereka.

"Maaf Teman-teman bisakah kita memulai persiapan ini dengan tenang? Kita sudah menyusunnya di dalam catatan kita. Kita bisa mengerjakannya dengan baik sesuai susunannya" jelasku menghembuskan nafas pelan berharap mereka tidak tersinggung dengan protesku.

Mereka menyimak apa yang aku maksud. melihat satu sama lain seakan heran dengan kacaunya mereka saat ini. Lembaran kertas yang berhamburan, perlengkapan yang berserakan, sampah serapah yang bercampur dan semua yang terlihat semakin membuat segalanya kacau tidak tertata. Kemudian Mereka mengangguk setuju. Syukurlah mereka bisa memahami apa yang aku maksud, mungkin tidak semua karena diantaranya masih saja ada yang menatapku sinis. Tapi tidak apa toh mereka sebagian kecil dari manusia yang tidak setuju dengan saranku. Dalam kehidupan kita tidak bisa memaksa semua orang menyukai kita bukan?

"Sekarang kita mulai dari penataan panggung. Kita kerjakan apa yang menjadi tanggung jawab kita. Kalau ada kesulitan kita bisa meminta bantuan setelah pekerjaan masing-masing selesai" jelasku. Ah ya sebenarnya aku merasa tidak enak hati melakukan ini. Aku hanya anggota baru yang berani-beraninya mengeluarkan perintah untuk mereka.

"Adiraaaaaa.... Kamu hebat loh bisa bikin mereka mau denger" teriak elvina seraya memelukku.

Aku hanya menanggapinya dengan senyuman lega. Ku lihat kembali perlengkapan yang di butuhkan, ku harap tidak ada satupun yang kurang dan terlewatkan. Aku sibuk dengan segala persiapan yang ada. Ruang mendadak pengap dengan pendingin ruangan yang masih setia menyala. Pekerjaan yang cukup melelahkan ini berjalan baik, tertata dan tentu dengan suara bising yang bisa dikendalikan. Aku menghela nafas panjang menatap seisi ruangan yang hampir selesai,. kurebahkan diri di lantai aula menikmati lelahku yang memprotes.

"minum dulu" ucap seseorang yang menawarkan sebotol air minum tepat di atas wajahku.

"makasih" ucapku, memposisikan diri duduk dan menelan habis air putih pemberiannya. Aku benar-benar haus.

"kamu mulai melakukan satu hal yang berguna ra" ucapnya seraya mengusap rambutku

"Alendra, jadi maksudmu selama ini aku gak berguna?" tanyaku

"ya... Bisa di bilang seperti itu. Hahahahahahaha" ucapnya enteng dengan tawanya yang seketika pecah.

"sialan" umpatku, seraya tersenyum kecut.

Aku merebahkan diri kembali di atas lantai aula. Keadaan sekarang menjadi sunyi karena sebagian panitia sudah memutuskan pulang. Hanya tersisa aku, elvina dan ketua panitia yang masih sibuk mengecek kembali persiapan acara puncak esok. Alendra ikut serta membaringkan tubuhnya di atas lantai aula di sampingku menggunakan tangannya sebagai tumpuhan. Kami menatap langit-langit aula tanpa suara. Perlahan ku pejamkan mata menikmati lelahku satu hari ini. Tiba-tiba pipiku terasa hangat oleh tangan alendra yang mengelus pipiku halus. Mungkin dia pikir aku sedang tidur, tentu aku tidak membuka mata memprotes dengan sikap dadakan alendra. Toh aku ingin tidur tenang tanpa harus melewati suatu perdebatan yang tidak penting. Jika ada lelaki tulus setelah ayahku mungkin alendra adalah jawabannya. Dia sudah menjadi sahabat bahkan seperti kakak yang menjaga seorang adik.

***

"dir bangun ayo pulang" ucap seseorang membangunkanku.

Aku mengerjapkan mata melihat rupanya elvina yang sudah siap pulang dengan tas di punggungnya. Aku bangun dengan nyawa yang belum pulih seutuhnya. Kubereskan barang yang tersisa untuk dibawa pulang. dan bergegas menyusul elvina yang menungguku di pintu depan aula.

"Alendra kemana? Bukannya tadi dia tidur di samping aku ya? Masak iya mimpi" tanyaku heran dalam hati

Aku tidak peduli kemana alendra. Yang jelas ini sudah hampir menjelang matahari terbenam dan aku harus segera pulang. Aku tidak mau mendapat omelan panjang dari bibi yang menyita sedikit waktuku.

Sepanjang koridor sekolah sudah sepi, tidak ada siswa lain selain aku dan elvina. Keheningan yang tercipta seperti memeluk erat tubuhku yang lelah. Sampai jumpa besok di puncak seni bersama aku yang tidak menyukai kebisingan.

Awal Dari Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang