ADA 6

27 5 2
                                    

Langit terlihat sendu. Awan yang menghitam menebar luas di angkasa. Mentari menutup diri di balik awan yang egois. Aku hanya harus segera pulang, menghindar dari hujan yang menyusahkan. Aku menyukai langit tapi tidak saat dia bersama hujan. Gemuruh petir seakan mengingatkan aku pada teriakan ayah yang marah, dan air hujan seperti aku membayangkan bagaiamana ibu menangis saat itu. Dan aku hanya diam menjadi bumi yang tidak bisa melakukan apapun kecuali menatapnya dengan rintik yang mengacaukan.

"Dir, sorry aku duluan ya" pamit elvina.

Aku menganggukkan kepala, mengiyakan pamitnya. Kemudian memandang punggung yang beransur hilang dari pintu. Segera mungkim mengemas buku serta peralatan sekolahku yang berantakan di atas meja. Sekolah semakin hilang nyawa setelah satu persatu langkah meninggalkan bebannya. Tinggal aku yang tak kunjung menjenguk semesta yang kesal. Suara petir seperti mengusirku untuk segera pergi sebelum tangisnya tumpah di atas bumi yang bijak ini.

Aku menelusuri beberapa anak tangga hingga mencapai lantai dasar. Ku tolehkan kepala ke kanan dan ke kiri yang ku lihat hanya tersisa paman yang membersihkan kelas, beberapa anak yang menunggu jemputan dan pak satpam yang menjaga gerbang.

"pulang pak.. " sapaku tersenyum

"iya, hati-hati neng. Mau ujan" pesannya padaku

Menelusuri jalanan yang tidak cukup ramai seperti biasanya. Hanya ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. Mungkin karena langit akan segera mengguyurkan hujan.

Rintik hujan mulai terasa jatuh di atas kulitku yang terasa dingin. Sebisa mungkin kupercepat langkah, setidaknya saat hujan turun aku tidak akan sebasah yang aku bayangkan.

Tapi sialnya sebelum ku beri aba-aba mempercepat diri, hujan benar-benar tidak bekerja sama. Pertengahan jalan hujan memelukku dengan beku. Aku mengeratkan tangan memeluk tubuhku yang terasa dingin. Tidak ada tempat teduh yang bisa ku singgahi. Ah, sepertinya tuhan sedang membersihkan sekian banyak dosaku.

"Hujan, kamu selalu datang di waktu yang tidak tepat. Aku tidak ingin berada di antara rintikmu yang menyebalkan" protesku dalam hati

*
*
*

"Bentar bentar, kok gak hujan" pikirku

"Hai.. " sapa seseorang yang suaranya tidak begitu asing di telingaku.

Ku teliti dari bawah hingga wajah yang membuatku setengah menganga. Dia membawa payung menghalang hujan menimpaku kembali. Pipiku memanas, mungkin juga sudah sedikit memerah.

"Klo hujan neduh, nanti sakit" ucapnya seraya merekatkan jarinya di antara jariku.

Aku mengikutinya di bawah guyur hujan yang kalah oleh payung teduhnya.

"Hujan tidak seburuk itu. Bahkan rintiknya seperti ketenangan yang menghangatkanmu" ucapnya

Aku menatap alsyar sendu. Mendengar kata-katanya yang seakan menghakimi ketidaksukaanku.

"Yang kamu benci tidak seburuk yang kamu rasakan. Ketika kamu membenci, orang-orang justru menari-nari di antara rintiknya. Ntah bahagia atau sedih hujan selalu menjadi rintik yang menenangkan" ucapnya lagi

Aku hanya diam mendengar sepanjang kata yang dia lontarkan. Berfikir sejenak memilih kata yang tepat untuk membalasnya.

"setiap sisi perasaan selalu punya alasan kenapa dia tidak menyukai sesuatu" balasku singkat

Alsyar melepas payung dan membiarkannya terbang entah kemana. Ntah pikiran apa yang sedang merasuknya. Dia bilang setidaknya berteduh agar tidak sakit tapi sekarang dia justru mengguyurku dengan hujan yang deras bersamanya di bawah langit.

Awal Dari Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang