ADA 8

27 5 0
                                    

Semesta aku menginginkan caramu yang indah. Jika saja perasaan bisa memberi warna dengan baik untukku. aku tidak ingin salah satu paragraf dari hidupku akan tergantikan. Semesta kau tau aku membenci kehilangan ataupun sesuatu yang bernama perpisahan. Mungkin aku sudah belajar dari sekian banyak waktu, bahkan aku berfikir jauh tentang bumi yang mengkhawatirkan. Aku tidak ingin lagi menjadi seseorang yang menyalahkan tuhannya karena amarah. aku ingin proses perdamaianku dengan takdir berjalan baik. Aku ingin selalu menyadari bahwa setiap kehidupan memiliki jedanya sendiri.

aku memandang langit dengan rupa yang elok. Kurentangkan tangan merasakan hembusan angin yang menerpa. Kesunyian selalu menjadi jalan perdamaian dengan diri yang terus mengeluh. Kurasakan ada yang memelukku dari belakang, siapa yang berani mengganggu ketenanganku dan sesuka hati memelukku tanpa permisi. Benar-benar tidak sopan!

"Adira kamu sahabatku. Terkadang aku merasa takut jika kamu hilang. Aku tidak ingin siapapun berhasil menyentuh lukamu" bisiknya tepat di telingaku.

Aku menelan selivaku. Ini seperti adegan perpisahan yang akan membuatku hancur kembali. Kenapa alendra berkata seakan aku akan sengaja meninggalkannya. Nafasnya terhembus halus di antara tengkuk leherku yang tergerai rambut. Aku melepas tangannya yang masih memelukku. aku rasa ini tidak baik bagiku dan alendra, jika orang lain sampai melihatnya Pikiran buruk akan menyemai dalam otak mereka tanpa celah kebaikan.

"Maaf, aku tidak bermaksud" ucapnya tertunduk merasa bersalah.

"Tidak papa alendra" aku mengangkat kepalanya yang tertunduk. "Coba cerita, ada apa?" tanyaku

"Adira aku senang jika ada lelaki yang akan menjagamu. Mungkin waktu kita, maksudku waktumu denganku, biyan dan elvina akan berkurang. Aku tidak siap jika harus makan bakso sendirian" keluhnya

"hahahaha Apa yang kamu bicarakan alendra. Siapa yang kamu bicarakan? Alsyar?" akhirnya aku menarif nafas pelan "dia hanya orang baru yang sengaja masuk tanpa permisi alendra, lalu mana mungkin kalian akan jadi yang kedua?" aku menatap nanar kedua mata alendra yang sendu. Aku mengerti bagaimana perasaannya, dia cukup kawatir dengan waktu yang beberapa hari ini begitu mengusik kami. aku menghela nafas kasar, aku tidak berfikir sejauh itu bahkan aku tidak bercerita apapun kepada elvina tentang alsyar yang semakin mendekati perasaanku.

Aku memeluk alendra erat menenangkan rasa kawatirnya.

"sudahlah alendra, aku masih di sini" ucapku. "lebih baik sekarang kita samperin biyan dan elvina. Mereka pasti lagi nyariin kita.

Alendra hanya menganggukkan kepala menuruti saranku. Ayolah alendra tertawalah seperti biasa, aku tidak bisa melihatmu dengan wajah yang murung. Aku lebih suka kamu yang berisik dan menyebalkan.

Ah lihatlah, yang akan dikunjungi justru bertemu disini. Sepertinya mereka baru selesai mengisi perut mereka yang kosong. Ini pemandangan yang bagus, kali ini mereka berdua memilih kompak makan dikantin bersama tanpa aku atau alendra.

"hei kalian darimana?" teriak elvina yang melambaikan tangan seraya melontarkan pertanyaan.

"ngak dari mana-mana. Tadi abis dari kantin" jawabku

"tapi aku sama biyan tadi gak liat kalian deh perasaan" tanya elvina yang sudah menyatukan kedua alisnya curiga.

Biyan hanya mengangkat bahunya tidak tahu. Suasana hening tidak ada yang memulai percakapan di sela semilir angin. Kami menatap arah yang kosong dari balkon sekolah.

"aku gak bisa bayangin nantinya aku tanpa kalian" ucapku di tengah dialog yang diam. Elvina merangkulku seakan tau apa yang membebani isi kepalaku.

***

Rutinitas pulang sekolah satu minggu ini menjadi sangat monoton. Ketika hampir separuh waktuku hanya berisi perencanaan pekan seni. Hari hampir tiba, persiapan semakin menggebu meneriaki kami untuk berlari. Aku tau satu langkah kaki kita tidak pernah bisa terhindar dari tuntutan dan tanggung jawab bahkan sekalipun yang terberat adalah tanggung jawab atas diri sendiri yang sering kali melampaui batas.

Awal Dari Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang