(11)

5.4K 540 40
                                    

"Kamu yang datang ke rumah Mas atau Mas yang masuk ke kamar kamu?" Gila ni orang, sekalinya nge-chat bikin orang serangan jantung.

Gue langsung berlari menuruni tangga rumah setelah sebelumnya ngasih tahu kalau gue aja yang datang kerumah Mas Langit, bisa makin panas suasananya kalau tar Mas Langit yang dateng dan malah ketemu Bunda, emosi Bunda belum mereda sepenuhnya.

"Mau kemana?" Tanya Bunda begitu melirik gue yang berjalan cepat menuruni tangga.

"Ke rumah depan sebentar Nda!" Jawab gue sekilas dan langsung keluar rumah gitu aja.

Gue bukannya nggak mau menghargai Bunda tapi gue cuma nggak mau meladeni amarah Bunda yang belum bisa reda sepenuhnya kaya gitu, kalau gue paksa yang ada ujung-ujungnya nanti malah jadi berantem.

Gue tahu, gue sama Mas Langit nggak mungkin selamanya menghindari Bunda, mau nggak mau kita berdua harus bisa membujuk Bunda untuk setuju tapi nggak sekarang, sebelum membujuk Bunda, gue harus mastiin nasib pernikahan gue sendiri lebih dulu, pernikahan gue mau dibawa kemana?

Melangkah keluar dari pagar rumah, gue beralih masuk ke pagar rumahnya Mas Langit dan ngetuk pintu rumahnya pelan, perasaan gue kagak karuan banget, padahal ini pintu gue udah sering keluar masuk nggak pakai permisi dulu malah.

"Assalamualaikum!" Ucap gue nggak yakin.

"Waalaikumsalam." Gue mendapatkan sautan dari dalam dan beberapa detik kemudian Mas Langit muncul begitu pintu rumah terbuka.

"Kenapa?" Tanya gue masih berdiri diambang pintu.

"Masuk!" Bukannya menjawab, Mas Langit mempersilahkan gue masuk dan jalan dengan anteng berjalan menuju ke arah kamarnya, we ngapain pakai harus ke kamar segala? Ngomong ya ngomong aja.

"Mas mau ngomong apa?" Tanya gue yang membuat Mas Langit berbalik dan memberhentikan langkah.

"Mau ngomong disini dan ngebiarin Nenek dengar semua? Oke bukan masalah tapi apapun resikonya kamu tanggung sendiri." Dan gue menggeleng cepat.

Menatap gue aneh, Mas Langit melanjutkan langkahnya sedangkan gue malah menghembuskan nafas pasrah dan mengikuti langkah Mas Langit lemas masuk ke kamar, mau ngomong apaan juga coba? Serius amat.

"Eh eh Kenapa pintunya ditutup?" Tanya gue cepat begitu Mas Langit berencana nutup balik pintu kamar setelah gue masuk.

"Kalau dibuka apa bedanya? Nenek masih bisa denger." Lagi-lagi gue pasrah Mas Langit nutup pintunya.

"Yaudah ngomong, Nenek udah nggak bisa dengarkan? Kamar Mas kedap suara nggak? Tar kalau Nenek masih bisa dengar resikonya Mas yang tanggung sendiri." Dan gue langsung muter otak bego karena ucapan gue sendiri, ngapain gue nyinggung hal kaya gitu gila? Kedap suara? Mas Langit masih punya rumah aja harusnya gue udah bersyukur.

"Maaf." Cicit gue nggak enak.

"Masalah Dinda! Mas harus gimana?" Tanya Mas Langit to the point, Mas Langit memposisikan tubuhnya duduk di ranjang kamar sedangkan gue masih berdiri mematung nggak jelas.

"Harus gimana apanya? Kan yang dia suka Mas jadi kenapa nanya Bunga?" Jawab gue masih nggak terlalu peduli.

"Dan Mas suami kamu!" Gue menatap Mas Langit cukup kaget dengan ucapannya barusan, kenapa pakai bawa-bawa kata suami yaelah? Berasa kesindir gue.

"Ya terus? Kan nikahnya juga kepaksa, isi hati Mas siapa yang tahu? Masih untuk mantan pacar atau bahkan untuk perempuan lain." Gue masih belum mau mengalah.

"Terpaksa atau enggak, dimata agama nggak ada bedanya dan kenapa Mas harus nanya kamu? Karena kamu istri Mas, kalau kamu mengizinkan, apa boleh Mas menikah lagi? Kamu masih tanya apa masalahnya?" Mas Langit balik natap gue sengit.

"Mau nikah lagi ya nikah aja tapi ceraikan Bunga dulu." Dan Mas Langit malah tertawa dengan ucapan gue, aneh ni orang tua.

"Itu arti kamu nggak mau Mas nikah lagi, kalau udah tahu nggak mau Mas nikah lagi ngapain kamu mendorong Mas untuk ketemu sama perempuan lain?" Tanya Mas Langit masih dengan senyum tertahan.

"Ya terus Bunga harus gimana? Bunga malah ngerasa kaya Bunga yang ngerebut cowo yang ditaksir sahabat Bunga sendiri." Ini yang gue rasain sekarang.

"Terus Mas apa bedanya? Mas juga menikahi calon istri dari sahabat Mas sendiri, apa kamu lupa?" Heum.

"Jadi Mas mau ngajak Bunga berantem sekarang?" Mas Langit mengusap kasar wajahnya dan kembali menatap gue lama, untuk sesaat gue menyunggingkan senyuman gue kalau ingat gimana barusan kita berdua berdebat, waktu seakan balik ke masa kami yang dulu.

"Berdebat jauh lebih baik dari pada menyimpan rasa kesal kamu sendirian, itu alasannya kenapa Mas ngajak kamu bicara disini sekarang." Gue menghembuskan nafas dalam.

"Ya terus sekarang kita mau gimana? Bunga harus gimana ngadepin Dinda? Dinda juga sama pentingnya kaya Mas untuk Bunga, Mas jelas tahu." Sahabat gue itu artinya dia penting.

"Jadi Mas penting untuk kamu?" Hah?

"Mas gila ya? Mana ada suami yang nggak penting untuk istrinya? Hidup mati Mas sangat mempengaruhi status di KTP Bunga, menikah atau janda ditinggal mati."  Ngeselin lama-lama.

"Kamu nyumpahin Mas mati? Nyari ribut ni anak." Haduh gue udah nggak bisa berkata-kata.

"Susah ya ngomong sama orang tua, sensian mulu, mending Bunga pulang."

"Kita cuma beda sembilan tahun." Gumam Mas Langit yang masih bisa gue denger.

"Jari aja sepuluh!" Gue tersenyum dan menatap Mas Langit yang terlihat kehabisan kata juga.

Mas Langit bener, kita berdua harusnya bicara bukan malah narik kesimpulan sendiri-sendiri, menjalani rumahtangga memang nggak gampang tapi asalkan semuanya dibicarakan baik-baik, gue rasa usia nggak akan mempengaruhi apapun.

"Mas suka sama Dinda?" Entah kenapa pertanyaan kaya gini meluncur gitu aja dari mulut gue.

Untuk seperkian detik gue merutuki mulut asal nyeplak gue sekarang, ngapain gue nanya suami gue suka sama perempuan lain apa kagak coba? Kan sama aja kaya bunuh diri, Mas Langit bakalan mikir apa nanti?

"Kamu sendiri? Apa kamu suka sama Mas?" Lah ditanya malah nanya balik, kenapa jadi gue?

"Bunga yang duluan nanya jadi Mas dulu yang jawab."

"Mas nggak berhak menyukai perempuan lain setelah menikahi kamu." Asam banget, muka gue merah kayanya.

"Giliran kamu." Giliran gue ya?

"Bunga nggak mau bohong, jujur untuk sekarang belum Mas tapi belum bukan berarti enggak, sama halnya Mas, Bunga juga nggak berhak menyukai laki-laki lain setelah nama Bunga Mas sebut dalam akad nikah kita beberapa hari yang lalu." Jawab gue yakin.

"Okey! Mas cuma perlu tahu itu." Gue mengangguk pelan dan Mas Langit bangkit dari duduknya.

"Mau nginep disini apa Mas anter pulang?" Hah? Nginep? Mau ngapain nginep?

"Nginep? Mau ngapain?" Tanya gue langsung nggak terima.

"Nginep ya tidur, kamu berharap Mas apa-apain?" Ngutuk suami dosakan ya?

"Bunga pulang! Assalamualaikum!" Nggak mau gue perpanjang lagi pembahasannya kalau udah begini.

"Besok Mas anter ke sekolah! Waalaikumsalam!" Mas Langit tersenyum sekilas sebelum membukakan pintu lebih dulu untuk gue.

"Tumben nawarin nganter, biasanya kudu digiring paksa dulu." Cicit gue nggak yakin kalau Mas Langit bakalan dengar.

"Itu dulu waktu kamu cuma berstatus anak tetangga." Di jawab ternyata.

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang