(35)

4.7K 501 99
                                    

"Apa kamu cinta sama Mas?" Gue berdiri bangkit dari duduk gue begitu mendengar pertanyaan Mas Langit barusan.

"Kenapa tiba-tiba Mas tanya kaya gitu? Apa Mas pikir kalau sekarang aku cinta sama Mas juga karena harta? Wah." Tanya gue balik dengan mata berkaca-kaca, apa Mas Langit pikir gue sepicik itu?

"Aku tahu kalau selama ini Bunda nggak bisa nerima Mas karena harta dan aku minta maaf untuk sikap Bunda itu tapi Mas harusnya juga tahu kalau aku nggak pernah mempermasalahkan masalah status sosial Mas."

"Apa selama ini aku pernah nuntut macam-macam sama Mas? Apa aku pernah minta sesuatu atau barang yang mahal sama Mas? Enggakkan Mas." Gue meneteskan air mata, gue nangis karena gue beneran kecewa.

Di umur gue yang sekarang, gue rasa sangat wajar kalau gue menginginkan sesuatu sama seperti kebanyakan temen-temen gue yang lain, terlebih sebelum menikah gue terbiasa mendapatkan apa yang gue mau, baik dari Bunda ataupun dari Bang Jian, main tanpa perlu mikirin apapun, keluarga gue memenuhi semuanya.

Tapi setelah menikah gue juga belajar paham dengan keadaan suami gue, gue belajar menilai keadaan Mas Langit, walaupun ada sesuatu yang gue suka, gue nggak pernah minta, kalau biasanya gue bisa nabung sekarang dari uang jajan Bang Jian kasih tapi sekarang itu juga udah nggak mungkin, apa yang bisa gue tabung dari uang jajan yang seadanya?

Nggak cuma itu, gue mau makan sesuatu yang mahalpun juga selalu gue tahan, selama ini gue nggak pernah ngerengek apapun sama Mas Langit itu semua kenapa? Karena gue tahu keadaan ekonomi Mas Langit, dia udah bekerja keras.

Andai kata gue mengutarakan semua ke Mas Langit, gue juga yakin kalau Mas Langit bakalan berusaha memenuhi semuanya tapi gue nggak pernah ngomong apapun, permintaan gue cuma akan nambah beban Mas Langit dan gue nggak mau.

Gue tertunduk dengan air mata mengenang, apa semuanya juga bakalan sia-sia? Gue terus mempertanyakan hal kaya gini, pertanyaan Mas Langit itu bener-bener bikin gue kesal.

Berbeda dari gue, Mas Langit malah tersenyum tipis dan kembali menggenggam kedua tangan gue erat, apa ada yang lucu dari pertanyaan gue barusan? Kenapa malah senyam senyum nggak karuan begitu?

"Mas senyum kenapa? Apa Mas masih mikir kalau aku cinta sama Mas karena harta?" Ulang gue memberanikan diri menatap Mas Langit langsung.

"Kamu ngasih jawaban terbaik untuk pertanyaan Mas." Mas Langit maju, mengusap kepala gue dan membawa gue masuk dalam dekapannya, jawaban gimana maksudnya?

"Mas juga cinta sama kamu, maaf butuh waktu lama untuk Mas ngomong kaya gini tapi setelah menggenggam, Mas nggak akan pernah melepaskan dan itu juga berlaku untuk kamu." Mas Langit mempererat dekapannya.

"Memang yang bilang aku cinta sama Mas siapa? Nggak ada ya." Kapan gue bilang kalau gue cinta?

"Heum, kamu nggak cinta sama Mas tapi Mas yang udah cinta sama kamu, nggak papa, Mas paham." Hah?

"Mas juga sama sekali nggak pernah berpikiran buruk tentang kamu, Bunga yang Mas kenal sekarang adalah gadis yang sangat dewasa apa kamu tahu?" Gue nggak tahu.

"Bukannya Mas selalu ngomong kalau aku kaya anak kecil?" Ini yang sering gue denger.

"Mas minta maaf, Mas terus manggil kamu kaya gitu bukan karena Mas menilai kamu buruk, Mas cuma becanda, Mas akui awalnya Mas pikir akan kesulitan beradaptasi karena gimanapun, Bunda sama Jian sangat memanjakan kamu tapi tinggal bersama membuat semua penilaian Mas berubah, Jian bener, dibalik sikap kekanak-kanakan kamu, sisi lain kamu sangat dewasa." Jelas Mas Langit panjang lebar.

"Tapi apapun, sekarang semua orang pasti mikir kalau aku mau nikah sama Mas karena hartakan?" Ini yang gue tahu sekarang, bukan tanpa alasan gue mikir kaya gini, tadi gue nggak sengaja denger beberapa orang lagi ngomongin gue, kalimat menyakitkan malah keluar dari mulut Bu Lia.

"Mas nggak akan pernah berpikiran sepicik itu untuk istri Mas sendiri, orang lain boleh ngomong dan menilai apapun tapi yang hidup bareng kamu itu Mas, apa Mas akan mendengarkan penilaian orang lain disaat kamu selalu ada disisi Mas kaya gini?" Memang penilaian Mas Langit yang terpenting tapi denger omongan orang lain juga nggak enak.

"Yang penting adalah Mas cinta sama kamu dan Mas percaya sama kamu." Mas Langit tersenyum tipis.

"Cinta sama aku? Mas nggak becandakan? Kalau cuma becanda, itu nggak lucu Mas." Gue masih kurang yakin, Mas Langit selama ini kalau ngomong sama gue mana pernah serius amat.

"Perlu bukti? Pakai stempel kepemilikan?" Gue langsung narik diri menjauh tapi dalam hitungan detik balik di tahan sama Mas Langit.

"Orang tua mah mesum mulu." Cicit gue masih mencoba melepaskan diri dari dekapan Mas Langit.

"Mas nggak pernah seserius ini." Gue tersenyum sumringah untuk jawaban Mas Langit sekarang.

.

"Mas mau kemana?" Tanya gue begitu melihat Mas Langit meraih gagang pintu.

"Ada Bintang sama Pa, heum Bintang sama Om Hanif dibawah." Ah seketika perasaan gue balik nggak enak lagi, ya sama halnya Mas Langit yang tetap dengan pilihannya, Om Hanif juga pasti tetap kekeh dengan keinginannya.

"Kalau kamu selesai beberes langsung turun juga." Gue mengangguk pelan sambil menatap punggung Mas Langit yang turun lebih dulu.

Nggak mau berlama-lama, gue bangkit dari ranjang dan narik handuk sembarangan masuk ke kamar mandi, beberes kilat, gue langsung turun ke bawah seperti permintaan Mas Langit tadi.

"Kalau kamu tetap nggak mau ikut pindah tinggal bareng Papa, semua kekayaan Papa akan dialihkan atas nama kamu, apa itu adil?" Gue hampir kepleset ditangga denger ucapan Om Hanif barusan.

"Pa!" Mas Bintang bangkit dengan raut wajah jelas tak terima.

"Apa harus aku ulang? Aku nggak akan pindah kemanapun dan aku juga nggak butuh harta Papa, bukannya Papa punya Bintang sama Kris sekarang?" Mas Langit sendiri juga masih terlihat tenang dengan jawabannya.

Gue narik nafas dalam dan bergabung dengan  Mas Langit didepan, gue ngambil posisi disampingnya tanpa berniat natap siapapun, nggak dari keluarga Om Hanif apalagi tatapan menusuk dari Bunda.

"Lo pikir gue butuh belas kasihan lo? Gue akan mempertahankan apapun yang menjadi hak milik gue." Mas Bintang nggak terima.

"Tapi bukannya itu memang peninggalan almarhumah Ibunya Langit? Hak milik yang kamu maksud itu dari segimananya?" Potong Bunda jelas dengan raut nggak sukanya.

"Bunda!" Gue hampir aja meledak kalau nggak ada tangan Mas Langit yang nahan gue.

"Bunda, Abang perlu bicara sebentar." Tatapan Bang Jian beneran datar.

Nggak peduli dengan penolakan Bunda, Bang Jian tetap ngajak paksa Bunda untuk masuk ke kamar, mungkin itu lebih baik, gue nggak mau Bunda memperparah keadaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nggak peduli dengan penolakan Bunda, Bang Jian tetap ngajak paksa Bunda untuk masuk ke kamar, mungkin itu lebih baik, gue nggak mau Bunda memperparah keadaan.

"Pilihan yang Papa kasih nggak akan berubah, pertimbangkan semuanya dalam satu minggu, kamu yang pindah atau semua harta peninggalan Ibu kamu yang Papa pindah alihkan."

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang