"Itu apa Nga?" Brukk, kaget dengan kehadiran Mas Langit kaki gue malah gak sengaja kepentok sisi ranjang, untung kaki doang.
"Aduh Mas ngagetin tahu nggak." Gue hampir jantungan, udah gitu kaki ikutan sakit juga sekarang.
"Lagian kamu juga kenapa harus kaget sampai sebegitunya? Sini Mas lihat." Mas Langit mulai mengusap kaki gue sembari natap gue geleng-geleng kepala.
"Bocahnya kagak berubah." Ucap Mas Langit pelan tapi masih bisa gue denger, cuma mata gue doang yang minus, telinga enggak.
"Bunga denger ya Mas." Kesal gue.
"Yaudah itu yang ditangan kamu apa? Coba Mas lihat." Gue langsung aja ngumpetin kertasnya dibelakang gue, yah nggak bakalan jadi kejutan lagi kalau kaya gini caranya.
"Bunga! Itu apa?" Mas Langit bangkit dan mendekat ke gue, narik pinggang gue dan dalam hitungan detik itu kertas udah berpindah tangan.
"Ini apa?" Ulang Mas Langit.
"Mas bisa bacakan? Itu kertas udah ditangan ngapain Mas tanya sama aku lagi?" Gue narik diri menjauh dari Mas Langit, udah pasrah gue, kejutan yang gagal total ini mah.
"Bunga!"
"Apalagi sih Mas?" Gue berbalik natap Mas Langit sekilas.
"Ini punya kamu?" Tanya Mas Langit memperlihatkan suratnya ke gue.
"Bukan, punya anak tetangga." Baca Mas, baca.
"Mas serius, ini beneran punya kamu?" Mas Langit memang keliatan cukup serius.
"Namanya nama aku bukan?" Tanya gue balik, ekspresi Mas Langit belum berubah.
Gue pikir setelah tahu gue hamil, Mas Langit bakalan bahagia banget tapi ini malah nanya terus, kaya orang kagak yakin aja istrinya hamil, nggak penting-penting amat kali.
Mengabaikan Mas Langit yang masih fokus dengan kertas ditanggannya tanpa ekspresi apapun, gue sendiri juga berbalik dan berjalan masuk ke kamar mandi, terserahlah.
"Bunga." Panggil Mas Langit nahan pintu kamar mandi tiba-tiba, pergerakannya kenapa selalu dadakan?
"Apa sih Mas? Mas nggak percaya kalau itu punya aku? Yaudah nggak papa." Ucap gue dengan mata mulai berkaca-kaca, labil bener.
Baru aja Mas Langit minta maaf, ngomong manis ke gue tapi sekarang apa? Tahu gue hamil aja mukanya datar begitu, beda banget ekspresinya kaya yang sering gue lihat di drama, apa Mas Langit nggak punya perasaan sama sekali?
Gue tertunduk dengan rasa kecewa, sedih bahkan rasa kesal yang semakin menjadi, gue harus bersikap gimana? Kesal? Marah? Sedih? Atau bahkan Nangis? Gue udah capek.
"Mas mau ngapain?" Tanya gue melingkar lengan gue di leher Mas Langit begitu tubuh gue diangkat, Mas Langit mendudukkan tubuh gue perlahan disisi ranjang sedangkan dia sendiri berlutut dilantai dengan tangan yang menangkup kedua pipi gue sekarang.
"Kenapa?" Tanya gue gugup.
"Kamu tanya Mas kenapa? Mas terlalu bahagia sampai Mas pikir kalau ini semua nggak akan nyata." Sekarang malah tatapan Mas Langit yang berkaca-kaca.
"Kata terimakasihpun rasanya nggak akan bisa mewakili perasaan Mas sekarang, perasaan bahagia Mas karena memiliki kamu, kehadiran kamu adalah hadiah terindah yang pernah Mas punya."
"Walaupun kita memulai semuanya dadakan dan Mas yakin bukan itu juga harapan yang kita mau tapi sekarang, Mas ngerasa kalau kehadiran kamu lebih dari cukup untuk memenuhi seluruh bahagia Mas."
"Sekarang dan untuk masa yang akan datang, selamanya Mas cuma menginginkan kamu, Mas cuma mau menghabiskan sisa umur Mas bareng kamu."
"Dan kehadiran dia akan memperlengkap kebahagian kita jadi atas dasar apa kamu mikir kalau Mas nggak bahagia tahu hal kaya ini Dek Bunga?" Mas Langit tersenyum dan mengecup pipi gue pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Langit Mencintai Bunga (END)
RomanceBerawal dari Bunga yang di tinggalkan oleh calon suami yang selama ini selalu didambakannya, Bunga malah berakhir menikah dengan sahabat dari calon suaminya tersebut, Langit. Saat itu, Bunga yang ditinggalkan oleh calon suaminya hanya mempunyai dua...