"Apa Mas udah yakin kalau Mas akan menikahi Bunga? Lihat Bunga sekarang Mas, apa Mas yakin kalau kita berdua akan baik-baik aja kedepannya? Bunga nggak mau Mas melakukan ini semua terpaksa, Bunga nggak mau Mas mempunyai penyesalan apapun." Gue ingin memastikan sekali lagi jawaban Mas Langit.
Menikah itu mudah tapi menanggung tanggungjawab sebagai sepasang suami istri itu yang sulit, jangan cuma karena gue di desak waktu dan Mas Langit juga didesak oleh Neneknya membuat Mas Langit nggak mempertimbangkan apapun lagi, gue nggak mau itu terjadi.
"Mas udah mikirin ini semua, Mas udah yakin kalau mungkin ini adalah jalan terbaik untuk kita berdua, kamu nanya sama Mas apa Mas udah yakin? Kamu sendiri gimana? Apa kamu udah yakin menerima Mas sebagai suami kamu?" Gue terdiam untuk sejenak dengan pemikiran yang sedang berusaha keras meyakinkan hati gue sekarang, gue tetap harus memilih.
"Mas! Kalau Mas tanya Bunga yakin atau enggak sekarang sama Mas, jawabannya Bunga nggak tahu tapi walaupun Bunga nggak yakin sama Mas tapi Bunga yakin sama pilihan Bang Jian, kalau menurut Bang Jian, Mas itu yang terbaik, Bunga akan mencoba menerima itu semua." Jawab gue jujur.
Walaupun didesak waktu dan keadaan, gue mau Mas Langit tahu apapun gue yang gue pikirkan sekarang, bohong rasanya kalau gue ngomong, gue sangat yakin dengan Mas Langit, gue nggak akan bisa merubah keyakinan gue dari Mas Bintang dalam sesaat, walaupun gue kecewa dengan sikap Mas Bintang hari ini, gue membenci sikapnya bahkan marah memikirkan orangnya tapi gue nggak bisa memaksakan keyakinan gue untuk Mas Langit sekarang juga.
"Tapi, walaupun Bunga belum yakin dengan Mas tapi Bunga yakin kalau Mas laki-laki yang baik, semoga pilihan Bang Jian suatu saat akan menjadi pilihan terbaik untuk Bunga juga, ini yang bisa Bunga berikan jawaban untuk Mas sekarang." Gue nggak akan memaksakan walau keadaan gue terdesak sekalipun, Mas Langit bisa mempertimbangkan semuanya.
"Kamu tahu kalau Mas punya pacar dan pacar Mas meninggalkan Mas gitu ajakan?" Tanya Mas Langit yang gue angguki pelan.
"Mas mau kamu tahu, kalaupun Mas setuju menikahi kamu sekarang bukan karena Mas ingin menjadikan kamu sebagai pelampiasan, alasan setuju menikahi kamu hari ini adalah karena Mas memikirkan permintaan Nenek, Mas juga memikirkan Jian sebagai seorang sahabat dan kamu sebagai Adik dari sahabat Mas juga." Dan gue mengangguk pelan, gue paham.
"Kalau memang kamu setuju, ayo menikah, hari ini kita menikah untuk kebahagiaan keluarga kita tapi Mas berdoa semoga kedepannya pernikahan kita juga akan membawa kebahagiaan untuk diri kita berdua juga, semuanya ini bukan cuma tentang Mas, ini bukan cuma tentang kamu tapi ini tentang kita, masa depan kita." Bismillah, gue akan mencoba yang terbaik.
.
"Saya terima nikah dan kawinnya Bunga Anggraini Binti Hamidz dengan mas kawin tersebut tunai!" Gue pasrah untuk keadaan.
Setelah akad, seketika segala pandangan gue tentang pernikahan berubah, hari yang paling gue tunggu, hari yang gue anggap akan jadi hari terbahagia dalam hidup gue berubah tanpa gue duga.
Gue menikah dengan lelaki yang sama sekali nggak pernah gue sangka, tetangga sekaligus sahabat dari calon suami gue yang melarikan diri entah kemana, takdir memang sangat luar biasa.
"Dek salim!" Ucap Bang Jian nyikut lengan gue, menghela nafas dalam, gue mengecup tangan Mas Langit sekilas bahkan tanpa menatap wajahnya.
Bunda yang masih menolak keras pernikahan gue dengan Mas Langit juga memilih untuk nggak turun dan malah ngurung diri dikamar, gue masih memikirkan Bunda tapi tatapan gue seketika teralih begitu Mas Langit mengecup kening gue tiba-tiba.
"Bunga naik ke atas dulu!" Mengabaikan para tamu gue pamit naik ke atas dan masuk ke kamar.
Dinda juga mendadak aneh, dengan tiba-tiba Dinda bilang nggak enak badan sama gue terus pamit pulang, gue yang memang masih blank ya mengiakan aja Dinda pulang karena gue pikir Dinda memang beneran sakit.
Orang tua Mas Bintang juga pamit pulang begitu tahu Mas Bintang kabur, mereka minta maaf dan Papa Mas Bintang terlihat jelas sangat kecewa dengan sikap putranya, Papanya aja sangat kecewa dan gue gimana lagi?
Gue sendiri nggak menyalahkan keluarganya Mas Bintang, kenapa? Karena yang melakukan kesalahan itu putra mereka jadi gue nggak berhak melampiaskan kemarahan gue untuk orang lain, mereka juga pasti malu.
Buang jauh masalah Mas Bintang yang kabur, masalah terbesar gue sekarang adalah Mas Langit, gue harus gimana sama Mas Langit? Sampai detik ini gue cuma menganggap Mas Langit nggak lebih dari seorang tetangga atau seorang teman, mentok-mentok gue anggap kaya Abang gue sendirilah nah ini sekarang malah udah jadi suami gue.
Antara tetangga, temen , Abang sama suami itu udah pekara berbeda, dalam bayangan gue nggak pernah terbesit untuk bersuamikan Mas Langit, menatap mukanya setiap malam dan begitu pagi menyapa, apa gue bisa?
"Dek!" Suara Bang Jian yang udah gue hafal.
"Heummm!" Gumam gue membiarkan Bang Jian masuk.
Setelah Ayah nggak ada, Bang Jian ngambil alih semua tanggung jawab penuh untuk kehidupan bahkan kebahagian gue, Bang Jian itu saudara yang merangkap status menjadi sahabat dan Ayah untuk gue juga, gue nggak bisa membantah apapun yang Bang Jian mau.
Di dunia ini setiap saudara pasti mau yang terbaik untuk saudaranya, begitupun dengan Bang Jian, Bang Jian juga pasti mau nyari solusi terbaik untuk gue, gue nggak mungkin marah.
"Abang tahu Adek kecewa tapi Langit juga nggak berhak mendapatkan perlakuan dingin dari kamu!" Ucap Bang Jian mengusap bahu gue.
Gue mengangguk pelan, gue memang nggak berhak melampiaskan kemarahan gue ke Mas Langit juga, gue tahu, jujur gue bukan mau bersikap dingin tapi rasa canggung yang membuat situasi jadi aneh, gue udah setuju untuk menikah dengan Mas Langit tapi begitu selesai akad, rasa canggung itu tetap ada, gue cuma butuh waktu.
"Bunga tahu Bang, Bunga cuma butuh waktu." Jawab gue lesu.
"Nggak ada yang memaksakan kamu, baik Abang ataupun Langit, kamu bisa menyesuaikan diri pelan-pelan!" Dan gue kembali mengangguki.
Berhubung sebagian tamu udah pada pulang, dibawah memang udah rada nggak berapa ramai, yang namanya acara udah kacau di awal mau diperbaiki seberapa keraspun tetap bakalan ada kurangnya dan itu kejadian, semuanya terlihat jelas.
"Kalau kamu nyariin Langit, Langit baru aja pulang untuk nganterin Nenek, Nenek memang nggak begitu sehat, kalau kamu udah selesai beberes, Abang saranin kamu pulang ke rumah Langit, jenguk Nenek sebentar, salah satu alasan kalian menikah adalah Nenek jugakan?" Gue hanya diam untuk ucapan Bang Jian yang ini.
Tadi Neneknya Mas Langit memang dateng, wajah bahagia beneran terlihat jelas diwajahnya Nenek Mas Langit tapi apa gue harus nemuin Mas Langit dirumahnya? Malam-malam begini?
Sebelum ini gue memang udah sering main ke sana ya karena selain temenan sama Mas Langit kita berdua juga tetangga tapi sekarang situasinya itu udah beda, status yang sukses besar mengubah segalanya.
"Pertimbankan ucapan Abang barusan, Abang turun dulu." Bang Jian kembali mengusap kepala gue sekilas dan keluar dari kamar gue gitu aja.
Setelah pertimbangan penuh, gue memutuskan untuk mengikuti saran Bang Jian, gue juga butuh bicara sama Mas Langit, gue mau minta maaf untuk sikap gue yang tadi.
"Assalamualaikum!" Ucap gue begitu ngetuk pintu rumah Mas Langit, gue kembali mengetuk pintu rumahnya karena memang belum ada jawaban.
"As_"
Dan pintu terbuka, seketika gue menundukkan pandangan gue begitu tahu kalau yang ngebukain pintu itu Mas Langit.
"Bunga! Kenapa?" Hah! Gue dateng ditanya kenapa? Apa gue balik aja sekalian?
"Kalau gitu Bunga_"
"Ayo masuk!" Mas Langit mundur beberapa langkah dari ambang pintu dan mempersilahkan gue masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Langit Mencintai Bunga (END)
RomanceBerawal dari Bunga yang di tinggalkan oleh calon suami yang selama ini selalu didambakannya, Bunga malah berakhir menikah dengan sahabat dari calon suaminya tersebut, Langit. Saat itu, Bunga yang ditinggalkan oleh calon suaminya hanya mempunyai dua...