(31)

4.8K 500 56
                                    

Gue menyandarkan tubuh gue dikursi dengan tatapan menengadah ke langit kelas, alhamdulillah akhirnya ujian gue selesai juga, sekarang gue udah bisa fokus ngurusin Bunda sama Nenek dirumah, nggak perlu ketar ketir lagi kalau pagi.

"Nga, mau jalan bareng nggak tar sore? Ayolah, gue mau pindah masa lo nggak mau jalan terakhir kali gitu bareng gue sama Ama." Rengek Dinda nggak karuan.

Oya setelah ujian selesai, Dinda udah mutusin untuk kuliah diluar negeri, masalah kelulusan atau ijazah tar gampang katanya, iya bener sih gampang kalau keluarga Dinda udah turun tangan.

Awalnya gue agak ragu sama pilihan Dinda, gue sama Ama tetap mempertanyakan apa alasan sebenernya Dinda berubah pikiran nggak mau kuliah ditempat yang udah gue sama Ama daftar, gue cuma nggak mau Dinda maksain pilihan lain karena masih ngerasa bersalah sama gue.

Alasan yang gue terima cukup meyakinkan walaupun bukan sepenuhnya melegakan, Dinda milih kuliah diluar karena butuh waktu untuk bisa melupakan Mas Langit, gue udah coba jelasin ke Dinda kalau dia nggak perlu sampai segitunya tapi maksain Dinda juga nggak mungkin, Dinda lebih tahu mana yang terbaik untuk dia sendiri.

"Lo pada kan tahu kalau mau jalan gue kudu izin dulu, ditambah lagi Nenek lagi kurang fit jadi gue nggak bisa jamin izin bakalan gue genggam ditangan." Balas gue.

"Dramatis amat bahasa lu, gini aja deh, coba lo tanya dulu ke Mas Langit, jangan lupa jelasin alasan kuat kenapa kita harus keluar tar sore, dapat nggak dapat izinnya tar kabarin kita lagi, gimana?" Gue natap Ama menimbang, tumben ni anak bener.

"Oke, tar gue tanyain, lo berdua mau pulang sekarang?" Gue coba deh.

"Gue udah izin sama nyokap buat main kerumah Dinda, bilangnya sih nginep sama sekalian mau nganterin ni bocah ke bandara, lo sendiri gimana? Mas Langit belum jemput?" Gue menggeleng cepet.

"Orangnya udah didepan, gue suruh tunggu." Cengir gue nggak berdosa.

"Ya Allah, Bunga, lo ngobrol sama kita berdua udah hampir setengah jam lebih diruangan dingin nan adem begini sambilan duduk santai nah laki lo, lo biarin nunggu kepanasan diluar? Wah kacau lo, kacau." Dinda juga terlihat sama kagetnya.

"Kan lo berdua yang ngajak ngobrol, kenapa jadi salah gue?" Nggak memperpanjang perdebatan, Ama mendorong tubuh gue paksa nyuruh gue jalan buruan.

"Santai dong, suami gue aja santai." Melambaikan tangan ke Dinda sama Ama, gue mulai berlari nemuin Mas Langit didepan.

"Apa kelas kamu punya ceramah tambahan? Kelas lain udah pada kelar dari setengah jam yang lalu." Tanya Mas Langit lembut tapi mukanya nggak enak.

"Ya sorry, kelepasan tadi ngobrol sama dua curut jadi nggak sadar kalau udah setengah jam." Berbeda dari Mas Langit, gue malah memperlihatkan senyum termanis.

"Ujian gimana? Lancar? Walaupun keluarga Mas hidup sederhana tapi soal otak keluarga Mas nggak pernah sederhana, kamu jangan lupa." Gue bosen diingetin ini mulu, lagian keluarga gue kaya juga pakai usaha, keluarga gue nggak goblok.

"Iya tahu, bawel banget kaya orang tua." Memang orang tua sih.

"Naik." Ish orang tua, dengan kekesalan tertahan, gue makai helm dan duduk anteng dibelakang Mas Langit.

"Pegangan, kalau jatuh terus innalillah siapa yang susah? Di KTP status baru terpaksa berubah lagi." Mas Langit meletakkan tangan gue dipinggangnya.

"Mas bisakan kalau ngomong sama Bunga santai aja? Ngvak usah pakai emosi, kalau berantem terus kapan akurnya?" Balas gue mengeratkan pegangan gue dipinggang Mas Langit.

"Makanya harus ada yang nengahin." Gue memutar otak gue dengan ucapan Mas Langit barusan?

"Kan udah ada Nenek sama Bunda?" Cicit gue bingung, mereka berdua kurang bisa menengahi apa?

"Memang kapan kita berdua pernah berantem didepan mereka?" Mas Langit tersenyum sekilas dan mulai melajukan motornya.

Hampir seminggu lebih kita tinggal dirumah Bunda, sebenernya Bunda udah ngasih tahu gue buat nyuruh Mas Langit bawa mobil gue aja tapi kita berdua tolak, Bunda bilangnya sih kasian gue tar kepanasan tapi aslinya padahal sayang juga sama Mas Langit.

.

"Mas, Bunga mau izin." Cicit gue berlagak merapikan kerah kemeja suami gue.

"Izin untuk apa?" Balas Mas Langit malah narik pinggang gue untuk lebih dekat, jantung apa kabar? Sehatkah?

"Heummmm Ama sama Dinda ngajak jalan tar sore, Dinda besok mau berangkat keluar Negeri jadi kita mau jalan-jalan perpisahan." Gue udah nggak natap Mas Langit sama sekali, nahan nafas gue kalau lebih lama kaya gini.

"Tapi kalau nggak boleh ya nggak papa, tar Bunga kasih tahu mereka lagi." Lanjut gue karena Mas Langit belum ngasih jawaban apapun, gue nepuk pelan bahu Mas Langit dan melangkah mundur narik diri menjauh.

"Mas izinkan tapi ingat, Mas yang anter dan nanti Mas yang jemput juga." Mata gue langsung bebinar, gue yang kepalang seneng tanpa sadar berlari memeluk Mas Langit tiba-tiba, jangan tanya ekspresi kaget Mas Langit sekarang, nggak kebaca.

"Maaf Mas, nggak sengaja." Gue tertawa kecil dan melepaskan lengan gue yang melingkar di leher Mas Langit.

"Disengaja juga nggak dosa, oya nanti malam Mas juga mau ngomong sesuatu sama kamu." Ini nih yang nggak gue suka, bikin penasaran.

"Sekarang aja nggak bisa ngomongnya? Lagi luang ini." Kalau bisa sekarang kenapa harus tar malam? Kelamaan.

"Kalau Mas bilang tar malam ya tar malam, udah sana kabarin dua curut kamu dulu, Mas turun kebawah sebentar nemuin Nenek." Gue menghembuskan nafas kesal dengan sikap Mas Langit tapi kalau nggak ngeselin ya bukan Mas Langit namanya.

Setelah ngabarin Ama sama Dinda kalau gue dapet izin, kita bertiga udah nentuin tempat buat janjian, nunggu ashar, sholat sama setelahnya beberes, kalau gue udah beres, duduk anteng diatas sofa barulah Mas Langit gue suruh beberes, gue belajar dari pengalaman, tu orang tua kalau beberes ekspres pakai banget.

"Bunga tunggu dibawah ya Mas." Ucap gue begitu Mas Langit masuk ke kamar.

"Stop, balik sini." Ya Allah kenapa lagi ni orang tua?

"Kenapa Massss?" Nanya pake senyum paksaan.

"Mau kemana?"

"Lah kan tadi udah izin sama Mas mau jalan bareng Dinda sama Ama, lupa? Faktor usiakah?"

"Seneng banget ngatain suami? Jilbab ngikutin siapa sampai modelan kaya orang gantung diri begitu?" Harus gue apain sih Mas Langit ini?

"Kenapa? Kalau sama Bunda nggak papa kok Mas, ABG kan memang style nya begini, Mas aja yang nggak tahu." Gue kan masih muda, masa kudu pakai hijab yang menjuntai sampai ke kaki? Tua dong.

"Kamu sekarang istri dan selama kamu masih menyandang status istri Mas, nurut sama Mas, turunin hijab kamu."

"Tapi_

"Kalau kamu pakai hijab nggak nutup dada kaya gitu mending dikamar aja berdua sama Mas, apa perlu Mas nahan kamu semalaman?" Hah?

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang