Anak tetangga? Ck gue sampai nggak bisa berkata-kata kalau ingat jawaban Mas Langit semalam, ada orang modelan begitu.
Paginya seperti biasa gue turun ikut sarapan bareng Bang Jian dan Bunda, Bang Jian yang keliatan kurang tidurbsama Bunda yang masih bertahan dengan sikap dinginnya ke gue, mau sampai kapan Bunda ngajak perang dingin begini?
Ucapan Bunda kemarin sedikit banyaknya juga jadi pemikiran gue sekarang, Bunda udah mulai menyinggung masalah tugas istri dan kewajiban suami ke gue, bukannya gue mau menolak kenyataan tapi Bunda harusnya bisa ngerti, gue sama Mas Langit butuh waktu.
"Mau Abang yang nganter Dek?" Tawar Bang Jian yang gue tolak dengan gelengan.
"Enggak usah Bang, Mas Langit mau nganterin katanya." Sekilas Bunda menatap gue tajam setelah jawaban gue barusan tapi yaudahlah, gue nggak mau cari ribut pagi-pagi begini.
"Kalau gitu Bunga pamit ya." Gue bangkit dari duduk gue lebih dulu dan nyalim sama Bang Jian dan berdiri cukup lemas di depan Bunda, pasalnya tangan gue bahkan dianggurin untuk beberapa detik.
"Assalamualaikum." Gue keluar dari rumah dan berdiri didepan pagar kaya orang bego nunggu hal yang kagak jelas apaan?
Tik tok tik tok jam ditangan gue jalan terus tapi yang ditunggu hilalnya belum keliatan juga dari tadi, niat nganterin gue nggak sih? Kalau nggak serius mending gua jalan kaki aja.
Gue yang berniat mengeluarkan handphone untuk menghubungi Mas Langit malah balik gue kantongin karena tiba-tiba orang yang gue tunggu kedatangannya muncul dengan wajah tanpa dosa setelah membuat gue nunggu lama.
"Lama banget?" Tanya gue kesal.
"Nenek kurang enak badan, maaf Mas lupa dan nggak sempat ngabarin kamu lebih dulu." Dan gue langsung kicep berubah nggak enak hati, gue mana tahu kalau Mas Langit ngurusin Nenek yang lagi sakit dulu.
"Maaf Bunga nggak tahu? Terus sekarang Nenek gimana? Nggak papa ditinggal sendirian?" Tanya gue berbalik ikut khawatir, gue nggak enak hati juga kalau ninggalin nenek sendirian.
"Nggak papa, Mas anter kamu dulu, kalau kamu paksain naik bus sekarang yang ada takut telat." Mas Langit tersenyum sekilas dan memakaikan gue helmnya, nganterin gue ke sekolah sesuai dengan janjinya semalam.
.
"Pulangnya Mas jemput juga." Gue awalnya menolak tapi Mas Langit bilang ada hal penting yang harus di urus setelah gue pulang sekolah nanti jadi akhirnya gue mengangguk mengiakan, gue bahkan mulai menatap Mas Langit aneh sekarang, gue sedang menimbang mau nyalim apa enggak.
"Kenapa Nga?" Tanya Mas Langit yang sadar dengan tatapan gue barusan kayanya.
"Nggak papa, Bunga masuk dulu." Gue melambaikan tangan ke Mas Langit dan berlari cepat masuk ke kelas gue, nyalimnya lain kali aja, ngumpulin keberanian dulu.
Dari arah koridor yang berlawanan, gue ngeliat Ama sama Dinda juga dateng barengan, telat juga tu pastinya, kalau yang jalur masuknya belakangan memang udah nggak bisa diapa-apain lagi, masuk didetik-detik terakhir.
"Woi dateng sama siapa lo tumben telatnya keterlaluan begini?" Tanya Ama yang ikut disenyumi Dinda disebelahnya.
"Bareng Mas Langit." Cicit gue sedikit nggak enak sama Dinda.
Gue udah mutusin untuk berpikiran sama dengan Mas Langit, Dinda memang penting tapi gue nggak mungkin melepaskan sesuatu yang udah menjadi milik gue tanpa alasan, kalau Dinda juga menganggap gue penting sebagai sahabat, gue yakin Dinda bakalan bisa ngerti.
"Yaudah ayo masuk." Ama narik tangan gue sama Dinda jalan barengan untuk memecah suasana sebelum berakhir makin nggak enak nantinya.
"Temen-temen, gurunya lagi rapat jadi kita free ya hari ini tapi inget, jangan ada yang pulang sebelum dapet izin pulang." Tiba-tiba ketua kelas gue Dira nyelutuk kaya gitu, merdeka sudah.
"Kita ke kantin aja yuk." Tawar Dinda dan gue sama Ama sepakat mengangguki.
Suasana gue sama Dinda memang agak beda, Dinda keliatan lebih banyak diam sedangkan gue juga nggak tahu harus ngomong gimana? Cuma Ama yang memecah suasana sesekali dengan omongan nggak ada saringannya.
"Mau makan apa? Gue yang pesenin." Tawar gue lebih dulu.
"Kaya biasa aja, bubur ayam sama teh anget." Gue cukup kaget begitu Dinda yang menjawab pertanyaan gue barusan.
"Oke, gue pesenin." Gue langsung ngantri untuk mesen makan, selama ngantri gue juga udah sempat ngabarin Mas Langit kalau kelas gue kayanya bakalan free dan kemungkinan pulangnya lebih cepat, tadi katanya mau jemput jugakan?
Selesai mesen gue balik dengan satu nampan penuh makanan ditangan, balik ke meja temen-temen gue duduk dan makan, gue berusaha sebaik mungkin bersikap seperti biasa sama Dinda.
"Gimana Nga? Boleh gue milikin Mas Langit?" Detik itu juga minuman gue langsung muncrat kemana-mana!
Gue berasa serangan jantung begitu Dinda nanya begitu, Ya Allah, Din, gue pikir sikap Mas Langit udah jadi jawaban yang sangat jelas tapi kenapa Dinda malah nanya lagi? Pertanyaannya malah bikin suasana makin nggak karuan tahu nggak?
"Din! Lo gila? Udah gue bilangkan_
"Gue nanya Bunga, Ma!" Potong Dinda untuk ucapan Ama sekarang, bukan cuma Ama, gue sendiri juga cukup kaget dengan sikap Dinda.
"Apa jawaban Mas Langit belum cukup Din? Lo tahu, lo berarti untuk gue tapi Mas Langit bukan barang yang bisa gue oper seenak hati kita berdua, Mas Langit berhak milih dan lo udah tahu pilihannya siapa." Jawab gue mencoba setenang mungkin, sabar Bunga sabar.
"Tapi gue mau tahu jawaban lo Nga, gue mau dapet izin lo." Izin? Untuk?
"Izin apa?" Gue menyipitkan mata nggak habis pikir.
"Izin untuk memperjuangkan cinta gue ke Mas Langit." Hah? Apa Dinda nggak bisa bersikap dewasa sedikit.
"Lo beneran_, gue kecewa sama lo Din." Gue menatap Dinda sangat kecewa, apa jawaban gue kurang jelas? Mas Langit milik gue.
"Gue balik duluan Ma." Gue bangkit dan balik ke kelas ngambil tas gue terus pulang, gue beralasan ke Dira kalau gue kurang enak badan jadi izin pulang lebih awal.
.
"Assalmualaikum." Cicit gue begitu membuka pintu rumah.
"Waalaikumsalam! Kenapa lagi sekarang? Sakit? Suami kamu kemana? Udah tahu istri sakit malah dibiarin pulang sendiri! Itu yang namanya bertanggung jawab?" Gue menghela nafas cukup dalam dengan pertanyaan Bunda, apa perlu Bunda ngomong kaya gini?
"Ya Allah, Bunda kenapa ngomong kaya gitu? Kalau Mas Langit denger Bunga mesti ngomong apa Bunda?" Tanya gue masih mencoba bersabar sebaik yang gue bisa.
Gue pulang mau cari tenang bukan malah disindir terus begini, lagian Mas Langit bukannya nggak peduli tapi gue yang nggak tega ngebiarin Mas Langit ninggalin Nenek yang lagi sakit cuma untuk ngejemput gue doang.
"Memang kenyataannya begitukan? Suami kamu itu nggak bertanggung jawab, makan, minum bahkan uang jajan kamu aja masih Bunda yang tanggung." Lanjut Bunda makin nggak bertempat.
"Bunda!" Ucap gue mulai kesal.
"Apa? Bunda ngomong berdasarkan fakta ya Dek, suami kamu itu nggak becus, kemana dia? Kamu masih jadi tanggung jawab Bunda sama Mas kamu gini juga, udah nikah atau belum nggak ada bedanya."
"Tolong Bunda, jangan ngomongin suami Bunga sesuka hati Bunda kaya gitu." Gue memohon sekarang.
"Assalamualaikum." Gue mengalihkan pandangan gue begitu mendengarkan seseorang memberikan salah, Mas Langit yang dateng.
"Bagus orangnya datang!" Ucap Bunda sinis, Mas Langit menatap gue sekilas dan nyalim sama Bunda.
"Mau apa? Masih berani kamu datang kemari? Mau numpang hidup disini juga?" Yak, kenapa sama Bunda gue?
"Bunda!" Suara gue meninggi, detik itu juga Mas Langit menggenggam tangan gue dan narik gue untuk berdiri dibelakangnya.
"Langit datang untuk menjemput Bunga tinggal bareng Langit, Bunda!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Langit Mencintai Bunga (END)
RomanceBerawal dari Bunga yang di tinggalkan oleh calon suami yang selama ini selalu didambakannya, Bunga malah berakhir menikah dengan sahabat dari calon suaminya tersebut, Langit. Saat itu, Bunga yang ditinggalkan oleh calon suaminya hanya mempunyai dua...