(32)

4.5K 468 37
                                    

"Kalau kamu pakai hijab nggak nutup dada kaya gitu mending dikamar aja berdua sama Mas, apa perlu Mas nahan kamu semalaman?" Hah? Wah Mas Langit mulai pinter ngatur kayanya.

"Apaan? Nggak ada ya Mas, memang sejak kapan Mas protes sampai ke masalah hijab aku?" Protes gue, yang bener aja, masa hijab doang di atur?

"Sejak kita berkeluarga." Gue udah natap Mas Langit kelimpungan sekarang.

"Terus Mas mau jilbabnya aku apaain? Asal nggak kaya emak-emak aja ya." Gue udah berdiri tegap didepan Mas Langit, berdiri serasa nantangin suami.

Dalam diam, Mas Langit maju selangkah dan melepaskan ikatan hijab gue perlahan, membiarkannya terulur kebawah sampai beneran nutup dada, sikapnya yang sekarang seolah beneran mau jadi suami gue? Ya memang suami gue sih, nggak salah juga.

"Punya peniti atau apa gitukan?" Tanya Mas langit yang gue balas dengan senyuman sekilas, bener-bener ni orang tua.

"Yaudah Mas beberes sana, yang lama." Gue berbalik dan langsung turun ke bawah, kalau cuma peniti di tas gue juga ada kayanya.

Gue turun dan mendudukkan tubuh gue disofa, wah jantung gue mulai nggak aman, lama kelamaan kelakuan Mas Langit makin tegas, bukan cuma tegas tapi malah terkesan lebih berani sama gue.

Tapi wajar sih ya kan Mas Langit itu suami? Masa iya Mas Langit kudu takut sama gue tar dikata suami takut istri, nggak enak juga kalau tetangga pada mikir gitu, amit-amit.

"Ngelamun?" Mas Langit turun, ah benerkan, Mas Langit kalau beberes nggak pernah lama, padahal udah gue suruh lama-lamain tadi.

"Mas." Cicit gue narik lengan Mas Langit dadakan, gue ngapain?

"Kenapa?" Tanya Mas Langit ikut memperhatikan lengannya yang gue genggam.

"Heummm, nggak papa, yaudah ayo berangkat." Gue melepas genggaman gue dan keluar rumah lebih dulu, entahlah, mendadak ada yang aneh atau memang perasaan gue doang.

.

"Kalau mau pulang kabarin Mas lebih dulu, jangan kemaleman juga." Gue mengangguk mengiakan.

"Titip Bunga ya, kalian jangan pecicilan." Ucap Mas Langit ngingetin Ama sama Dinda, cuma kata pecicilan kayanya tertuju buat gue doang, abis itu orang tua natap tajemnya ke arah gue.

"Beres Mas, aman pokoknya." Jawab Ama ngasih hormat.

"Udah sana pulang." Makin lama Mas Langit disini gue makin nggak enak sama Dinda, anaknya nggak berkutik sama sekali dari tadi, gue harus ngerti perasaan Dinda juga.

"Hati-hati, kabarin Mas kalau ada apa-apa."

"Iya udah sana." Gue ngusir paksa.

"Dinda, semoga selamat sampai tujuan, Mas do'akan yang terbaik untuk kamu." Sekarang malah gue yang diem nggak berkutik dengan ucapan Mas Langit ke Dinda.

Nggak cuma gue, Ama bahkan Dinda sendiri juga malah bengong nggak karuan, Dinda terlihat memaksakan senyumannya dan mengangguk pelan untuk ucapan Mas Langit, Dinda bahkan menatap Mas Langit dengan tatapan berkaca-kaca dan gue nggak suka.

"Ma, kita masuk duluan deh." Gue narik Ama masuk duluan mengabaikan Dinda sama Mas Langit yang terlihat masih setia dengan tatapan mereka berdua.

"Lo cemburu?" Tanya Ama sambilan terkekeh nggak jelas.

"Siapa? Gue? Sama Mas Langit? Lo yang waras deh." Gue melepaskan gandengan gue dilengan Ama dan ngambil posisi duduk paling pojok.

"Lo nggak bakat bohong Nga, udahlah, kalau cemburu ya bilang iya, nggak ada salahnya kok cemburu sama suami sendiri, kalau lo nggak cemburu itu baru nggak wajar."

"Terserah lo ya, gue nggak mau denger." Cemburu apaan coba? Memang cemburu bisa dimakan?

"Walaupun nggak mau denger tapi itu ucapan gue barusan juga masuk ke telinga lo, lo kan nggak budek, apalagi kalau sampai merambat ke hati, lebih bagus lagi, biar sadar sama perasaan lo sendiri." Gue nggak mau memperpanjang.

Nggak lama gue sama Ama mesen minum, Dinda balik dengan mata sembabnya, Mas Langit ngomong apaan sampai bisa ngebuat Dinda nangis mewek begitu? Masa cuma kata perpisahan? Nggak mungkin.

"Kalau penasaran lo tanya langsung dari pada cuma lo tatap seakan mau nelen si Dinda hidup-hidup." Cicit Ama nyikut lengan gue.

"Lo kenapa Din? Diapain sama Mas Langit?" Tanya Ama natap gue penuh maksud.

"Cuma ngasih salam perpisahan dan gue doain lo sama Mas Langit bakalan bahagia Nga, gue serius berharap yang terbaik untuk kalian berdua jadi lo nggak perlu natap gue nusuk kaya gitu." Jawab Dinda ikutan natap gue penuh maksud.

"Iya tahu." Gue tersenyum sekilas dan kembali nyeruput minum, bahas aja terus, bahas.

.

"Lo yakin Mas Langit bakalan jemput? Ini udah jam berapa Nga?" Tanya Dinda melirik jam ditangannya sekilas.

"Gue udah ngabarin minta jemput dari setengah jam yang lalu Din tapi belum dapet balasan apapun." Balas gue ikut melirik jam ditangan gue juga.

"Udah lo coba hubungin belum siapa tahu macet dijalan." Gue tetap nyoba menghubungi Mas Langit sesuai ucapan Ama walaupun otak gue udah mikir kalau macet bukan alasan, motorkan harusnya bisa lebih cepet, semacet apa sih memangnya kalau udah jam segini?

"Gimana?" Tanya Ama lagi yang gue balas dengan gelengan, perasaan gue seketika berubah makin nggak enak, Ya Allah semoga Mas Langit nggak papa.

"Yaudah kalau nggak gue anter sekalian aja, kalau makin telat juga nggak baik, kita bertiga perempuan semua." Tawar Dinda.

"Tapi tar kalau Mas Langit dateng gimana? Kasian."

"Kalau datengkan Nga, gini deh kalau kita tetep nunggu tar bahaya, ini udah jam berapa, andai kata Mas Langit dateng bisa lebih mendingan, Mas Langit kan cowo, lebih pinter jaga diri." Gue masih menimbang.

"Lebih baik sekarang lo kabarin Mas Langit kalau lo pulang bareng kita, tar kalau Mas Langit baca pasti nggak bakalan kelimpungan nyariin." Setelah menimbang akhirnya gue setuju sama ucapan Ama.

Selama perjalanan gue beneran nggak tenang, gue terus ngecek handphone berkali-kali berharap ada panggilan atau setidaknya balasan dari Mas Langit untuk pesan gue tapi nihil, gue nggak dapet balasan apapun.

"Lo yang tenang, siapa tahu Mas Langit dirumah ketidurankan?" Canda Ama.

"Ya kali suami gue ketiduran padahal istrinya belum dirumah, lo ngomong kaya nggak kenal Mas Langit aja Ma." Gue udah siap noyor kepala Ama.

"Kita sampai, tapi bentar deh Nga, rumah lo ada acara apaan rame begitu?" Tanya Ama begitu mobilnya parkir tepat didepan gerbang rumah gue.

Seketika gue mengikuti arah pandang Dinda dan bener dirumah lumayan rame, memang dirumah gue ada apaan? Masa ada acara gue nggak tahu? Nggak mungkin.

"Gue masuk duluan ya, bukan maksud ngusir tapi lo pada langsung pulang aja soalnya udah malem banget." Gue serius walaupun dibalas wajah kesal Ama.

"Yaudah kita balik ya, jangan lupa kabarin kita tar." Gue mengacungkan kedua jempol gue.

Turun dari mobil Dinda, gue melangkah masuk dan berhenti dengan nafas tercekat begitu melihat Mas Langit tertunduk pasrah disamping seseorang yang terbaring kaku dengan selembar kain batik menutupi seluruh tubuhnya.

"Mas, ini kenapa?" Tanya gue menarik pelan lengan kemeja Bang Jian.

"Nenek meninggal."

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang