"Sekarang bahagia aku selalu ada andil Mas didalamnya." Gue merasa seberuntung itu sekarang.
Orang mungkin akan berpikiran kalau Mas Langit sangat beruntung mendapatkan gue sebagai pendamping, mereka hanya menilai berdasarkan harta tapi nyatanya, guelah yang beruntung mendapatkan Mas Langit sebagai pendamping.
Dan nanti, disaat orang tahu status sosial Mas Langit sebenernya gimana, orang lain akan kembali berpendapat berbeda tapi gue nggak peduli karena dari awal gue sadar, gue yang sangat beruntung, andai gue menikah dengan orang lain, mungkin keadaan gue bukan kaya sekarang, gue nggak akan bisa melupakan Mas Bintang semudah itu.
Melupakan seseorang nggak semudah membalikkan telapak tangan, disaat hati sudah tertaut, maka kehilangan akan menjadi derita yang sangat menyakitkan, kehadiran Mas Langit hanya membantu tapi melepaskan, gue sendiri yang harus berusaha keras untuk itu.
Mas Langit seperti hadiah dadakan yang tiba-tiba masuk dalam hidup gue, Mas Langit hadir menggenggam tangan gue erat disaat gue terjatuh dan berpikir kalau gue nggak akan pernah bisa bangkit lagi.
Gue nggak pernah berharap mendapatkan seorang pendamping yang sempurna, itu nggak akan mungkin ada tapi kehadiran Mas Langit seolah menjadi jawaban dari segala kesusahan gue, Mas Langit yang mengajarkan gue untuk menjadi seorang gadis yang jauh lebih kuat.
"Kamu juga nggak akan tahu seberapa besar andil kamu untuk bahagia Mas sekarang." Ucap Mas Langit memeluk gue semakin erat.
"Kamu berarti untuk Mas lebih dari yang kamu tahu." Gumam Mas Langit ditelinga gue.
"Sama halnya kamu, Mas juga nggak bisa menjamin kalau Mas bisa selalu membuat kamu bahagia tapi Mas bisa menjanjikan satu hal, bagaimanapun keadaannya, apapun masalahnya, Mas nggak akan pernah melepaskan tangan kamu."
"Aku tahu." Gue juga nggak akan pernah melepaskan tangan ini, apa dan bagaimanapun keadaannya.
.
"Mas, tadi Bang Jian telfon katanya kalau senggang kita disuruh pulang ke rumah." Ucap gue begitu Mas Langit mendudukkan tubuhnya, padahal Mas Langit baru aja pulang kerja tapi yaudahlah nggak papa, mumpung gue ingat.
"Tapi tadi di kantor Jian nggak ngomong apapun sama Mas." Mas Langit menatap gue sekarang.
"Aku aja baru ditelfon tadi." Gue juga nggak tahu ada apaan.
"Yaudah selepas isya kita kesana." Gue mengangguk pelan.
Selepas isya kita berdua pamit ke Om Hanif kalau kita mau pulang ke rumah Bunda, kayanya juga bakalan nginep soalnya besok sabtu jadi Mas Langit nggak ngantor, lumayan nggak harus ngadepin pasangan kamar sebelah.
"Hati-hati." Ucap Tante Indah yang gue angguki.
Selama perjalanan gue lebih banyakan tidur sih sekarang, makanya Mas Langit mulai protes kalau gue mau naik motor, takut gue ketiduran jadinya malah bahaya, gue juga udah nggak bisa berkutik karena yang Mas Langit omongin benar.
"Nga, kita di rumah." Gue mengerjapkan mata perlahan dan tersenyum sumringah, ini rumah ternyaman untuk sekarang.
"Assalamualaikum." Ucap gue semangat yang diikuti Mas Langit juga.
"Waalaikumsalam." Bunda yang ngebukain pintu.
"Kalian malem banget? Pada nginepkan? Bunda masak banyak."
"Nginep Bunda." Jawab Mas Langit lebih dulu, kita berdua nyalim dan langsung ngacir nyariin Abang, ada yang lagi semberaut kayanya.
Gue nggak tahu Abang ngomong apa sama Bunda tapi belakangan ini sikap Bunda memang mulai agak tenang, nggak ngomongin warisan aja udah cukup buat gue sama Mas Langit, semoga aja sikap Bunda semakin membaik, gue nggak mau ribut-ribut lagi.
"Abang, aku sama Mas Langit masuk ya." Teriak gue dari depan pintu.
"Assalamualikum." Gue masuk nggak sabaran, Mas Langit cuma geleng-geleng kepala merhatiin gue.
"Waalaikumsalam, heboh amat lu Dek." Allahuakbar, Abang gue kenapa kacau begitu penampakannya?
"Heleh sok ngomong kita heboh padahal dia sendiri yang bikin heboh, pakai nyuruh pulang dadakan segala, memang kenapa sih Bang? Apa masalahnya besarnya?" Gue udah ngambil posisi disalah satu sisi ranjang Bang Jian.
"Lo kenapa Ji? Ancur bener." Kali ini Mas Langit yang juga ngambil posisi di lantai tepat disebelah gue.
"Kampret lu berdua, Ama nolak lamaran gue." Hah?
"Ama nolak Abang? Wajar sih." Gue kaget tapi nggak ekstrim, kenapa? Gue udah menduga soalnya dari raut wajah Ama pas gue mau bahas Bang Jian selalu aja ngelak tu anak.
"Lo beneran ditolak Ji? Seriusan? Sama bocah kaya Ama? Wih Ama hebat juga berani nolak lu." Satu bantal mendarat tepat di kepala Mas Langit.
"Tadi siang gue ketemu sama Ama dan dia ngasih jawaban untuk lamaran gue." Jelas Bang Jian narik nafas dalam, Bang Jian bahkan tertunduk pasrah gitu.
"Memang alasan Ama nolak lu apaan? Kurang kaya nggak mungkin, kurang ganteng? Bisa jadi." Mas Langit menanggapi tapi rada saraf juga, soal alasan ditolak gue ikut penasaran.
"Dia belum siap nikah dalam waktu dekat, dia nggak sepenuhnya nolak tapi minta gue nunggu dua atau tiga tahun lagi." Heumm, gue langsung mangut-mangut denger penjelasan Bang Jian, kalau harus nunggu jelas Bang Jian nggak akan mau, apalagi sampai dua atau tiga tahun, hati seorang nggak ada yang bisa menjamin.
"Dek, memang Ama nggak ngomong apapun sama kamu?" Gue menggeleng, Ama belum ngomong apapun ke gue.
"Belum, cuma nggak tahu kalau tar ketemu bakalan cerita atau enggak, terus Abang punya rencana apa sekarang?" Ya sesomplak-somplaknya Bang Jian dia tetep Abang gue, yang namanya ditolak tetep aja kecewakan.
"Rencana? Ini Abang nyuruh kalian pulang buat ngasih rencana lain, mentok-mentok ngasih masukan." Lagi-lagi gue mangut-mangut nggak jelas.
"Lu beneran udah punya keinginan menikah dalam waktu dekat? Karena menurut gue yang terpenting niat, kalau lu beneran ngerasa udah siap lahir bathin, Insyallah nemuin calon yang baik nggak akan terlalu susah." Mas Langit terlihat mulai serius.
"Gini deh gue mau realistis aja, kita cowo, tugas kita nyari, sedangkan cewe mereka menunggu, cewe baik nggak akan nolak lelaki yang datang dengan maksud baik juga, benerkan?" Gue mengiakan dalam hati.
Kenapa gue iyakan, ayolah kita perempuan, kalau ada lelaki baik yang datang dengan maksud baik pula masa kita tolak dengan alasan belum siap? Siap itu bukan ditunggu tapi dipelajari pelan-pelan, yang pacaran aja bisa kalah sama yang duluan dateng ngelamarkan? Itu pendapat gue, orang lain berhak punya pendapat mereka sendiri juga.
"Bukan maksud Mas ingin menjelekkan Ama tapi Mas rasa kalau memang Ama belum siap menikah, nggak ada yang perlu ditunggu, Jian bisa cari calon lain kalau memang keinginannya untuk menikah udah mantap." Gue paham.
"Calon lain? Siapa?" Bang Jian antusias tapi raut wajahnya lemes, kacau pucet nggak karuan, kasian amat Abang gue.
"Kalau gue nyaranin Dinda memang lu mau?" Hah? Why? Dari sekian banyak perempuan diluar sana kenapa Mas Langit nyaranin Dinda? Kenapa harus Dinda?
"Sebegitu bagusnya Dinda dimata Mas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Langit Mencintai Bunga (END)
RomantizmBerawal dari Bunga yang di tinggalkan oleh calon suami yang selama ini selalu didambakannya, Bunga malah berakhir menikah dengan sahabat dari calon suaminya tersebut, Langit. Saat itu, Bunga yang ditinggalkan oleh calon suaminya hanya mempunyai dua...