EXTRA CHAPTER 1 (Sidang) :

505 38 5
                                    

Suasana di kelas XI IPA 3 menjadi canggung setelah kejadian tak terduga di lapangan hari itu. Terhitung, kini sudah dua hari kelas XI IPA 3 jadi asing. Tak banyak tertawa seperti biasanya. Padahal, ini masih dalam suasana class meeting.

Dan Pinkan cukup sadar diri ini semua salahnya.

Ah tidak, salah Ridho juga bukan?

Ini salah Ridho dan dirinya.

Karena kalau Ridho tidak menjadikannya taruhan, Pinkan tak akan senekat kemarin untuk mempermalukan cowok itu. Kalau Ridho tidak menjadikannya taruhan, tak mungkin Inggit ikut memusuhi Yogi hingga membuat hubungan keduanya merenggang dan Yogi jadi canggung kepada gadis cempreng --yang Pinkan curigai telah berhasil merebut hati Yogi-- itu.

Ya, Inggit memang belum bercerita padanya. Namun, melihat gelagat Yogi yang selalu memandang punggung Inggit dengan tatapan frustasinya itu, mudah bagi Pinkan untuk menebak semuanya.

Ada sesuatu yang istimewa di antara dua badut XI IPA 3 ini. Namun, karena Pinkan keduanya jadi asing, jadi menjauh dan sama-sama patah hati.

Pinkan merasa bersalah, tentu. Namun Inggit --yang memang dasarnya sangat peka-- segera mengomel panjang lebar pada Pinkan. Yang intinya --kalau tidak salah-- Inggit menganggap Pinkan itu sahabatnya, dan kalau ada yang mengganggu sahabatnya, siapapun itu, Inggit akan marah padanya.

Terdengar childish memang. Namun setelah Pinkan amati lagi, Inggit juga tampak kecewa. Mungkin karena dia sudah terlanjur percaya pada Yogi.

Atau... karena alasan lain yang tidak Pinkan mengerti.

Karena, bukannya tampak kecewa pada Yogi, Inggit justru lebih sering memandang Geanno penuh dendam, ada luka yang tampak dimatanya.

Dan karena Pinkan tak tau luka apa yang Inggit alami, ia memilih bungkam. Memilih membiarkan Inggit melanjutkan aksi marahnya.

Karena sejauh yang Pinkan amati, baru kali ini Inggit mengungkapkan emosinya pada orang lain.

Biasanya...gadis itu selalu tampak luar biasa riang, tanpa beban, dan menangis hanya bila membaca kisah sedih.

Tidak seperti ini, tidak penuh luka dan kemarahan seperti ini.

Namun Pinkan cukup mengerti sekarang. Inggit selama ini menahan emosinya. Jadi, Pinkan biarkan gadis itu mengungkapkannya sekarang. Ia tau sesaknya menahan kesedihan. Dan Inggit tidak pantas menahan itu terus-menerus.

Gadis itu terlalu mencoba terlihat baik-baik saja selama ini. Dan Pinkan tau itu sulit.

Karena jika tidak sulit, Pinkan tidak akan menemukan beberapa luka goresan di jari cewek itu --yang awalnya Pinkan kira akibat terkena pisau-- namun setelah akhir-akhir ini luka itu makin banyak, Pinkan jadi tau satu hal,

Inggit sudah terlalu lelah menyimpan semuanya. Ia bahkan sampai berani melukai dirinya sendiri. Dia tidak baik-baik saja, gadis itu punya banyak luka dan mungkin...trauma. Dan seperti gadis itu yang mencoba melindunginya, Pinkan juga ingin mencoba melindungi Inggit. Melindunginya dari kesendirian.

"Pin."

Pinkan tersentak keluar dari pikirannya kala suara Inggit tiba-tiba terdengar. Gadis itu menoleh, langsung menemukan Inggit yang menatapnya sendu.

Pinkan langsung bangkit, menyentuh bahu Inggit khawatir. "Kenapa?" tanyanya kini.

Inggit menghela nafas, "Aku gak papa. Kamu. Kamu yang mungkin bakal kenapa-napa setelah dengar berita ini..."

"... Anak kelas mau ngomongin masalah kita sama Ridho dkk sekarang. Dikelas."

Benar saja. Pinkan segera menarik nafas panjang setelahnya.

Gadis itu sedikit kaget. Namun tak urung mengangguk. Sudah paham akan kejadian semacam ini kalau kondisi kelas mulai tak kondusif.

Jadi setelah menghela nafas panjang sekali, Pinkan segera bangkit berdiri.

Diikuti Inggit dibelakangnya, gadis itu melangkah mantap, menuju kelasnya.

Kelas yang akan jadi ruang sidang dadakan.

***

Baper -SELESAI-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang