Pinkan dan Inggit kini sudah sampai di kelas mereka.
Sesuai dugaan, kondisi kelas benar-benar seperti ruang persidangan sekarang. Meja dan kursi ditata sedemikian rupa membentuk formasi U khas ruang sidang.
Bahkan, ada meja dan kursi untuk saksi.
Emang gila anak kelasnya. Tapi Pinkan sudah maklum. Yang penting berprestasi, ingat?
"Masuk Pin, Git."
Suara Indra memecahkan lamunan kedua gadis itu, membuat keduanya dengan canggung melangkah masuk menuju ruang kelas.
Keduanya melangkah begitu hati-hati, apalagi dengan belasan pasang mata yang melihat mereka --iya, memang anak kelas gak ada yang diluar kelas, semua pada di dalam, soalnya masalah ini termasuk genting.
Karena yang bermasalah kini adalah peramai suasana kelas. Dan kalau keadaan tersebut terus berlanjut, bisa gila mereka lama-lama. Sudah dikejar eskul, deadline tugas, masa gak ada pelepas penat?
"Duduk Pin, Git."
Suara itu membuat Pinkan menghela nafas, namun tak urung tetap mengikuti Inggit yang kini sudah duduk di kursi bagian kanan.
Tak berapa lama setelah mereka masuk, Ridho, Fauzan, Geanno, dan Yogi memasuki kelas. Keempat cowok itu memasang wajah dingin dan cuek. Wajah yang belakangan ini selalu mereka pasang karena insiden waktu itu. Insiden yang menimpa Ridho, mengubahnya menjadi sosok dingin tak tersentuh seperti saat ini.
Mereka berempat segera duduk di sisi kiri meja, bersisian dengan kursi milik Pinkan dan Inggit.
Setelah para pihak yang bersangkutan masuk, Fika --sang bendahara kelas-- segera mengambil alih situasi, cewek itu dengan tegas segera berucap singkat.
"Kalian berubah."
Indra, si wakil ketua kelas menghela nafas singkat setelah kata-kata itu di ucapkan. Dengan wajah lelah dan nada lirih, cowok itu melanjutkan hati-hati, "Kita gak tau ini kenapa masalahnya. Yang kita tau hanya kejadian di lapangan waktu itu. Kita cukup kaget memang, gak percaya juga. Tapi...walau gitu, entah seberat apapun masalah kalian...apa gua bisa minta tolong? Jangan bawa masalah itu ke kelas. Kita... jadi bingung harus gimana bersikap."
Kondisi kelas hening. Tak ada satupun yang berbicara. Namun, Pinkan, Inggit, Ridho, Geanno, Fauzan, dan Yogi cukup tau bahwa semua teman-teman nya memang menjadi terlampau canggung satu sama lain belakangan ini. Dan mengingat kelas ini merupakan kelas yang begitu sibuk, Pinkan dan yang lainnya jadi merasa bersalah.
Rasa bersalah ini lah yang membuat Pinkan jadi bangkit dari duduknya.
Dan merebut seluruh atensi orang-orang yang ada disana.
Pinkan menghela nafas, sebelum akhirnya berujar lirih, "Maaf..."
Inggit menutup matanya perlahan mendengar itu, ikut bangkit berdiri dan berujar pelan. "Maaf, kita minta maaf."
Disusul oleh Ridho yang ikut berdiri, namun raut wajahnya dingin. Cowok itu memang berubah. "Maaf, gua minta maaf. Kalian gak perlu canggung lagi." katanya. Suaranya parau, juga bergetar. Ia memang jadi sedikit melankolis beberapa hari ini.
Dan selepas Ridho berdiri, Inggit jadi menatapnya dan Pinkan bergantian, sebelum akhirnya berucap tegas.
"Kita harus bicara dan selesaikan ini secepatnya."
Geanno jadi yang paling cepat bereaksi, ia bangkit berdiri, menatap Inggit tajam. "Apa lagi yang perlu diselesaikan? Bukannya semua sudah jelas? Lu ingkar janji!" ujarnya keras. Saking emosinya cowok itu, ia tak lagi bisa mengontrol nada suaranya.
Inggit mendengus dingin mendengarnya. "Ingkar janji? Wah, gue ingkar janji?" jeda sejenak, "kalo gue ingkar, lu apa?" lanjut Inggit. Nada suaranya dingin sekali.
Bahkan membuat Ridho yang awalnya menatap sendu lantai di bawah kakinya jadi menoleh, menatap Inggit dengan raut penasaran.
Yogi dan Fauzan juga tak kalah terkejut mendengar nada dingin itu, keduanya menoleh, menatap Inggit yang wajahnya memerah menahan emosi.
Melihat wajah Geanno yang berubah pias, namun tetap diam, emosi Inggit segera memuncak. "Berapa janji yang udah lu ingkari Ge? Berapa?!" cewek itu berujar penuh penekanan.
Tidak mendapat jawaban.
Inggit mendengus karenanya, "Gak bisa jawab kan lu? Kenapa? Bisu?" cewek itu berubah jadi sarkas.
Masih tak dapat jawaban. Kini Geanno bahkan menatap lantai, tak menatap Inggit tepat seperti tadi.
"Diam, diam, dan diam. Itu yang bisa lu lakuin ya Ge? Gak ada cara lain? Gue muak Ge." Inggit masih berujar lagi. Suaranya memelan, dengan getar yang mulai terdengar.
Geanno segera menatapnya, wajahnya membeku menatap Inggit yang kini menatapnya penuh luka.
"...Ini...kenapa??"
Suara itu membuat Inggit dan Geanno menoleh. Itu suara Yogi. Kening cowok itu mengerut dalam, penasaran.
Membuat Inggit segera tersenyum miring. "Gimana Ge, udah mau bongkar-bongkaran?"
Geanno tersentak, menatap Inggit kaget. Lalu menggeleng kecil. Berganti jadi menatap memohon.
Namun Yogi jelas ada di sana. Cowok itu segera menyambar, "Bongkar-bongkaran apaan? Apa maksudnya? No, ini ada apaan?"
Inggit tersenyum miring melihat tatapan penuh permohonan dari Geanno. Egonya memaksa untuk membongkar semuanya sekarang, namun hatinya berkata lain.
Inggit membenci hatinya yang masih terus lemah akan semua yang berhubungan dengan Geanno.
Jadi, cewek itu segera berujar tegas. "Itu bukan masalah. Lebih baik kita cari tempat buat diskusi tentang Pinkan-Ridho-Fauzan sekarang. Karena gue rasa... ada salah paham."
Dan setelah mengucapkan itu, Inggit menggandeng lengan Pinkan, menariknya keluar kelas.
Membuat Geanno menutup matanya sendu, sebelum akhirnya berujar, "Ayo ikutin Inggit."
Meninggalkan kelas mereka yang kini digelayuti rasa penasaran penuh.
Namun mereka tau, ini bukan ranah mereka. Mereka tidak sepatutnya ikut campur.
Setidaknya, berharap mereka berdamai, itu lebih baik.
***
Mungkin ada sekitar 3 ekstra part lagi, mianne ya lamaa, tapi insyaallah aku bakal nyoba up cepat.
Bubayyy!!
Salam
Inggitariana 🐻
KAMU SEDANG MEMBACA
Baper -SELESAI-
Historia CortaPernah tau rasanya ngebaperin cewek, malah lu yang baper gak? Kalo gak tau, sini biar gue kasih tau rasanya. -Imanuel Ridho Arfadil *** Pernah gak punya teman laki-laki yang aneh banget? Yang sukanya bilang lu cantik, nyubitin pipi, terus kalo lu...