Bab 21

103K 8.8K 1.2K
                                    

Tidak ada cinta yang menyakiti, tidak ada cinta yang melukai. Cinta hanya perihal dimana ia dilabuhkan.
Sudahkah di tempat yang tepat? Sebab cinta hadir beriringan dengan fitrah-Nya.

KalamCinta Sang Gus

"Ning benar mau tidur di sini?" tanya salah satu santri bernama Komariah, keningnya mengkerut pertanda ia merasa bingung. Seorang Ning mau tidur di pondok? Bersama para santrinya? Di kamar yang tiga kali lebih kecil dari kamar sang Gus. Syabella kontan mengiyakan pertanyaan tersebut dengan mengangguk.

Ada yang aneh, kalau Ning Adzkia yang tidur di pondok, sih biasa saja. Lah, ini Ning Abel, yang notabenenya berstatus seorang istri. Kalau dia di sini, suaminya bagaimana? Tapi, tidak mungkin menolak keinginan putri Kyai, bisa-bisa mereka kualat. "Kalau begitu biar ana ganti dulu, Ning. Sepreinya," ucap gadis yang sering dipanggil Kokom, sungkan.

"Tidak perlu. Saya bisa tidur di mana aja, Kok. Asal tidak gelap." Abel mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tidak begitu luas, tapi sangat nyaman dan bersih. Terdapat empat ranjang bertingkat dengan dua kasur, Syabella memilih ranjang di pojok ruangan dengan sprei merah muda milik Komariah, sedang di atasnya milik santri baru yang sudah sejak tadi terlelap karena tidak enak badan.

Kokom ikut membaringkan tubuhnya di ranjang sebelah yang pemiliknya sedang pulang kampung, ia menghadap pada Ning Abel.

"Kom, kamu mulai menghafal Alquran sejak kapan? Sudah hafal berapa juz?" tanya Abel penasaran, sebab waktu itu dia lihat gadis bernama Komariah ini begitu fasih melantunkan Kalamullah.

"Ana mulai menghafal Alquran sejak kecil, umur tiga tahun ana sudah menghafal, kata Umi," jelasnya sembari mengingat. "Sekarang sudah tinggal dua juz."

"Alhamdulillah, semangat ya," balas Abel seraya tersenyum lembut.

"Kalau Ning pasti sudah hatam, ya?"

Kedua sudut bibir Abel melengkung, lagi-lagi dia tersenyum kemudian mengangguk. "Aku menyelesaikan hafalan umur 15 tahun, waktu itu aku masih kelas dua SMP."

"Wah, ning Abel hebat. Ana saja sudah enam belas tahun tapi masih kurang dua juz." Gadis itu terkekeh.

"Biasa aja," balas Abel. "Kakak lelakiku malah umur sebelas."

Obrolan keduanya pun tetap berlanjut untuk beberapa saat, bahkan santri lain juga terkadang ikut menimpali, dan tak jarang ada candaan juga yang membuat tawa di kamar tersebut menggema.

BRAK!!

Seketika tawa itu terhenti ketika mendengar suara seseorang terjatuh di luar, bergegas Abel turun dari ranjang dan keluar.

Di depan pintu kamar sebelah, sorang gadis terjatuh dan terdapat beberapa kitab berserakan di sekitarnya, Abel tidak tahu persis apa yang terjadi. Tapi ada yang membuat hatinya terasa panas dan langsung menghampirinya.

Sebelum duduk untuk membantu gadis itu membereskan kitabnya, terlebih dulu iris yang biasanya berbinar ceria itu, kini terlihat sinis dan tajam menatap santriwati yang jelas berada di depannya justru tidak membantu sedikitpun. Bahkan ada yang berkacak pinggang seolah gadis ini sampah yang menjijikkan.

"Kenapa?!" Nada suara Abel sedikit keras. "Kenapa kalian tidak membantu dan justru hanya melihat sinis seperti itu? Ada yang salah? Ada yang berbeda dari dia?" tanya Abel mengintimidasi.

Para santri itu tidak seorangpun menjawab pertanyaan Abel, mereka semua hanya diam.
"Kenapa, saya tanya?"

"Karena jika dibiarkan dia akan mencoreng nama baik pesantren ini, Ning." Salah satu santri memberanikan diri melapor.

Kalam Cinta Sang GUS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang