25_Rendy

526 111 6
                                    

Rachel mengelap peluhnya setelah memetik strawberry sebanyak yang ia mau. Mereka beristirahat di pondok kecil di pinggir kebun. "Kakak tau, udah lama aku gak panas-panasan kayak gini." Rachel memulai pembicaraan.

Ray terkejut mendengar perkataan Rachel. "Maaf ya, Chel," pintanya merasa bersalah.

"Lhoh, Kakak kok minta maaf. Aku seneng banget malah Kakak ajak panas-panasan gini. Kalau sama Bunda tu pasti bilang 'Kita itu perempuan, harus menjaga kulit'." Rachel berdiri memperagakan ucapan bundanya.

Kekehan kecil terdengar dari bibir Ray. Ia menarik Rachel untuk memeluk gadis itu. "Keringet kamu wangi ya." Mereka bertatapan beberapa saat sebelum Rachel sadar di mana mereka sekarang.

"Ihhh, Kakak. Kalau ada yang liat gimana?!" Rachel melepas pelukan Ray sembari melihat apa ada yang melihat mereka.

"Kalau ada yang liat paling kita dinikahin." Ray ingin menarik Rachel tapi tapi gadis itu segera menjauh.

"Gak mau, aku gak mau punya anak dulu." Rachel memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya.

Lagi-lagi Ray dibuat terkejut dengan tingkah Rachel. "Hayooo mikirin apa sampai ngomongin anak?" goda Ray. Ia menggeser duduknya lebih dekat dengan Rachel.

"Stoppp!" Rachel menahan bahu Ray dengan sebelah tangannya dan sebelahnya lagi menutup wajahnya yang memerah.

"Mukanya kok ditutup, sayang, 'kan Kakak mau liat." Ray malah makin suka melihat wajah Rachel yang memerah karenanya.

"Maluuu."

Sudah, Ray tidak tahan lagi itu tidak mengacak rambut Rachel gemas. Ia memegang tangan Rachel yang menahan bahunya dan duduk mendekat. Setengah memeluk gadis itu lalu mengacak rambutnya.

"Ekhemmm, Mbak-Mas. Ini buahnya." Rachel reflek mendorong Ray.

"Makasih," ujar Rachel setengah gugup.

Petani itu tersenyum ramah. Ia pergi dalam keadaan cemburu melihat pasangan itu.

"Yuuuk, Kak, makan." Entah ke mana wajah Rachel yang memerah tadi. Kini ia menatap strawberry yang ia petik tadi telah dicuci.

"Eeittt, cuci tangan dulu ... calon ibu untuk anakku!" Ray menatap wajah Rachel yang kini kembali memerah.

"Kakak!" Rachel malu mengingat perkataannya tadi. Saking malunya air matanya sampai terjatuh.

"Hei kok nangis sih?" Ray terkejut dan langsung memegang wajah Rachel. Menghapus air mata gadisnya. "Kakak minta maaf, oke." ujarnya serius, mata mereka saling bertatapan.

"Hahaha, Kakak lucu deh." Rachel tertawa melihat wajah syok Ray yang menurutnya sangat menggemaskan. Kedua tangannya mencubit pipi mulus Ray.

Mereka kembali tertawa. Bersama kehangatan matahari yang ingin menjemput senja. Aroma jingga mendekap bahagia. Sebahagia mereka yang sedang menatapnya.

*****

Jam menunjukkan pukul 08.40, Rachel sudah terlambat 40 menit. Dengan napas ngos-ngosan, ia berlari menuju ruangannya. Ponselnya terus berdering yang ia yakini panggilan dari Silvy.

"Pagi ...," ujar Rachel menarik napasnya panjang setelah berdiri di pintu kelas yang tak terkunci. Ia melihat dosen tengah menerangkan materi hati ini. "Maaf, Pak. Saya ...."

"Ini sudah 40 menit, silahkan jalan-jalan." Dosen separuh baya itu berkata tegas tanpa menatap Rachel. Menerapkan perjanjian dari awal pertemuan.

"Tapi, Pak ...."

"Silahkan keluar."

Dengan wajah lesu, Rachel meninggalkan kelas itu menuju kantin. Ia terlambat karena lagi-lagi bundanya menyuruhnya belajar masak semalam. "Kak Rendy!?" gumamnya saat melihat Rendy yang keluar dari kelas. Pria itu tampak tampan seperti biasanya. Ia mengejar pria itu tanpa memanggil terlebih dahulu. "Hai, Kak!" sapanya dengan tangan menyentuh bahu Rendy.

Wajah terkejut Rendy dapat ditangkap dengan jelas oleh Rachel. Tapi beberapa detik kemudian kembali normal. "Ada apa?" tanyanya dengan nada dingin.

Bulu kuduk Rachel meremang melihat wajah tak damai dari Rendy. Wajah tampan pria itu seketika terlihat mengerikan menurutnya. Mata Rendy sangat sinis melihatnya.

"Lo gak ngomong, gue pergi nih!" Ancaman itu terdengar seperti kata pengusiran.

Rachel menghembuskan napasnya perlahan. Memberanikan diri menatap mata Rendy. "Kakak kenapa gak ada kabar?" tanyanya.

"Buat apa lo kabar gue?" Rendy jelas tentu sudah tau arah pembicaraan Rachel tapi ia hanya ingin memikirkan jawaban itu.

"Bukan buat aku, tapi Silvy."

"Gak usah ikut campur lo!" Rendy ingin pergi meninggalkan Rachel tapi gadis itu menahan lengannya.

"Pengecut banget lo!" ujar Rachel kesal. Napasnya naik turun menahan emosi.

"Lo maunya apa sih, Chel?" Rendy melepaskan tangan Rachel kasar dari lengannya.

"Gue butuh jawaban." Rachel menatap Rendy tajam. Seolah menakuti pria itu walau ia tau sia-sia.

Rendy terkekeh geli. "Lo kok bertingkah seolah lo yang jadi pacar gue!" kesal Rendy membalas tatapan tajam Rachel. "Denger, gue gak menghilang kok, tapi sahabat lo aja yang terlalu berharap!" lanjutnya sebelum Rachel menjawab.

"Berharap gimana sih, Kak. Jelas Kakak gak bilang putus ke dia. Kalau memang Kakak udah gak sayang lagi kasih dia penjelasan jangan jadi pengecut kek gini!" Suara Rachel terdengar melengking, membuat mahasiswa yang ada di sekitar situ menoleh ke arah mereka.

"Gue emang gak pernah sayang sama dia!" Rendy menekan semua kata yang keluar dari mulutnya. "Asal lo tau ya Rachel, yang nembak tu bukan gue ... tapi sahabat lo!" tambahnya penuh penekanan.

Rachel terperangah mendekat kalimat terakhir Rendy. Ternyata Silvy selama ini berbohong dengannya tentang itu. Tentang cinta yang kini mencampakkannya. "Lo gak usah ngarang ya!" Kalimat tak sopannya kembali terdengar.

"Gak percaya lo tanya aja sama sahabat lo yang tergila-gila sama gue. Dia nembak gue siap gue menangin lomba basket di depan semua orang." Rendy berjalan dengan sengaja menepis bahu Rachel.

"Terus kenapa Kakak terima dia?" teriak Rachel begitu sadar Rendy sudah menjauh dari pandangannya.

"Jadi lo maunya sahabat lo malu karna gue tolak?" Rendy juga berteriak membuat tanda tanya pada mahasiswa yang sedari tadi menonton.

*****

Harum senja serasa memuakkan bagi Silvy. Nyanyian dedaunan yang bergesekan menyayat hatinya. Burung-burung yang berkicau riang seolah mengolok-olok dia yang kini ditinggal cinta.

Matanya menunduk lurus ke bawah. Di sampingnya pria yang sangat ia cintai dan ia rindukan berdiri tegap sembari menghisap rokok. Menghembuskan asapnya ke udara bebas.

"Lebih baik kita putus!"

*****








To be continued
Tekan 🌟
Tinggalkan komentar

TERSESAT DUA DUNIA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang