36

401 82 7
                                    

Jika hanya untuk persinggahan
sementara.
Sebaiknya pergi karena aku tak ingin terluka.

*
*
*
*

Pagi menjelang, dengan berat hati Ray bangun dari tidurnya yang tadinya bermimpi tentang Rachel. Ia melakukan ritual mandinya lalu berjalan ke dapur. Menemukan papanya sudah terbangun bersama Kean.

"Pagi, Pa! Pagi, Nyet!" sapa Ray mengingat kejadian semalam ketika Kean meninggalkannya begitu saja di halaman belakang.

Kean melirik Ray tanpa berniat membalasnya. Ia sudah terbiasa dengan sikap Ray yang lebih kekanak-kanakan dari pada dirinya. Mengatasi rasa khawatir saja Ray tidak bisa, jadi buat apa ia menimbulkan keributan di pagi hari?

"Gimana berenangmu semalam?" tanya Yudha sembari mengoleskan selai pada roti tawar.

Ray menatap Kean kesal, pasti adik angkatnya yang menceritakan hal memalukan itu. Sahabatnya yang sangat menjengkelkan.

"Bukan Kean yang cerita, Papa sudah sangat kenal kamu! Pasti kolam berenang jadi sasaran!" ujar Yudha lalu memakan rotinya. "Tapi semalam kamu keterlaluan, ini musim hujan."

"Pa, aku cuma mendinginkan kepalaku saja." Ray membela diri. Matanya melihat papanya tajam karena tak terima dengan kebiasannya.

"Papa udah mengatur suhu air di kolam renang. Papa juga sudah memasang cctv, kalau kamu berenang di cuaca dingin, Papa akan menghidupkan pemanasnya." Pria paruh baya itu menghabiskan tegukan terakhir kopi panasnya lalu meninggalkan Ray yang masih berusaha mencerna kalimat papanya.

"Pa, kalau gitu percuma aku berenang dong!" ujar Ray tak terima. Itu tempat pelariannya, bagaimana bisa seseorang mengubah suasananya dengan paksa.

"Berenang pake air panas Ray, biar masak!" Kean tertawa terbahak-bahak. Memegang perutnya melihat ekspresi Ray yang sulit dijelaskan.

Berbeda dengan Kean, Ray malah mengangkat sebelah alisnya melihat Kean yang sudah seperti orang gila. Menertawakan sesuatu yang menurutnya tidak lucu. Lama-lama ia bisa gila mempunyai adik seperti Kean yang memiliki tingkat humor yang terlalu rendah. "Lo cuci piring ya!" Ia mengambil tasnya dan meninggalkan Kean yang mematung menatap piring kotor.

"Woyyy, hari ni lo yang bertugas!" teriak Kean, Ray menutup telinganya.

*****

Senyuman terus berusaha Rachel berikan pada Gavin sembari menyuapi pria itu makan. Sejak mereka baikan dua hari yang lalu, Gavin tidak ingin memakan apa pun jika bukan Rachel yang menyuapinya. Ia menagih janji Rachel yang berkata akan menuruti semua kemauannya asalkan ia cepat sembuh.

"Minum, sayang!" Jangan lupa dengan panggilan itu yang membuat Rachel kesal tapi berusaha menahan diri. Gavin pria sakit dan ia harus menyembuhkannya. Ia mengambil segelas air hangat dan memberinya pada Gavin.

Gavin tersenyum manis bahkan sangat manis jika saja Rachel bisa membalas cinta pria itu. Matanya berbinar seperti anak-anak. Jemarinya menyingkirkan anak rambut Rachel yang menutupi wajahnya.

Mata mereka saling bertatapan. Walau Rachel enggan, tapi ia hanya menuruti keinginan Gavin. Sembuh, itu saja alasannya.

"Gavin!" Suara itu mengagetkan Gavin dan Rachel. Seorang psikiater datang berjalan mendekati mereka sembari tersenyum.

Ekspresi Gavin seketika berubah, tubuhnya bergetar membuat Rachel terkejut. "Kakak kenapa?" tanyanya panik.

"Aku gak mau berbicara dengannya! Dia menanyakan banyak hal!" Gavin memegang erat lengan Rachel, membuat Rachel merasa tak nyaman.

"Tapi Kakak harus bicara sama Tante itu kalau mau sembuh." Rachel melepaskan tangan Gavin dari lengannya perlahan dan Gavin menuruti kata-katanya seperti biasa.

"Rachel, kamu keluar dulu boleh 'kan?" tanya psikiater itu lembut.

"Baik, Tante."

*****

Dari kejauhan terlihat dua sosok yang saling bercanda ria. Tertawa dengan irama yang sama. Tentunya juga menertawakan hal yang sama.

"Lo tu ada-ada aja, Nev!" ujar Silvy ketika tawanya mereda. Tak menyangka jika Nevan bisa membuat ekspresi wajah seperti itu. Tetapi ia lupa satu hal jika Nevan itu adalah hantu, jadi bukannya dia bisa menirukan wajah siapa saja.

"Tapi lo udah maafin gue 'kan?" tanya Nevan serius, telah dua hari Silvy mendiamkannya dan ia tidak tahan itu.

Gadis indigo itu tak berniat menjawab pertanyaan Nevan. Ia malah tersenyum manis menatap pria di depannya. Kedua tangannya mengamit tangan kanan Nevan. "Kamu tau, Nev. Seandainya kamu tau tentang aku lebih banyak, pasti kamu gak bakal ragu buat nyatain cinta kamu pas SMA." Ia membuang pandangannya pada langit yang terlihat masih cerah.

"Maksud kamu?" tanya Nevan serius. Ia memegang dagu Silvy untuk kembali menatapnya. Berpandangan satu sama lain.

"Kamu pas SMA pake kacamata 'kan?" tanya Silvy sembari mencoba mengingat-ingat pria yang sering bersama Rendy, mantan pacarnya.

"Kamu kenal aku?" Nevan bertanya antusias.

Silvy melepaskan tangannya dari genggaman Nevan lalu mengetuk-ngetuk jari telunjuk kanannya di dagu. "Gak mungkin aku gak kenal Kakak kelas kutu buku yang hobinya ke perpustakaan." Ia mengingat dengan jelas saat ia diam-diam mencari tau tentang kakak kelasnya itu. Tetapi Nevan orangnya terlalu tertutup hingga ia menyerah.

Nevan tertawa, ia bukanlah cowok serajin yang Silvy katakan. Ia sering ke perpustakaan karena ia memang bekerja di sana. Buku yang sering ia baca pun, buku novel romansa, horor dan fantasi. "Aku baca novel, Sil, bukan baca buku pelajaran," ujarnya, tangan kanannya merangkul Silvy menatap dedaunan yang berjatuhan.

Gelengan kecil Silvy lemparkan saat mendengar perkataan Nevan. "Inti yang mau aku bilang bukan itu Kak! Aku mau bilang ...."

"Jangan ungkapin sekarang, Sil, aku belum siap!" batin Nevan sembari memejamkan kedua matanya. Ia belum ingin meninggalkan semua yang ia cinta.

"Silvy!" panggil seseorang mengejutkan Silvy dan Nevan.

Nevan bernapas lega, ia bersyukur Rachel datang di saat yang tepat. Tanpa Silvy ucapkan, Nevan sudah tau apa yang ingin Silvy katakan. Ia belum ingin mendengar semua itu tertutur dari bibir manis itu.

"Hai, Nev! Lo gak marah lagi sama gue 'kan?" tanya Rachel.

"Gak kok, malahan gue berterima kasih banget sama lo!" Nevan merangkul erat bahu Rachel dan mencubit pipi Rachel gemas sembari menatap Silvy yang terlihat cemburu.

Rachel memandang Nevan aneh. "Ada apa dengan pria ini?" batinnya. Sudah dua hari mereka tak bicara dan terakhir kali mereka bertengkar, lalu sekarang?

Nevan mengatup bibirnya, berusaha menahan tawa melihat ekspresi wajah Rachel yang menatapnya curiga. "Hei, gue cuma mau lupain semuanya? Apa gue salah?" tanyanya pada Rachel, namun matanya menatap Silvy yang terlihat memanas dan ia suka itu.

"Chel-Sil, gue ... pergi dulu ya, ada urusan penting nih!" Nevan melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 16.30 JT lalu menghilang begitu saja meninggalkan Rachel dan Silvy yang saling bertatapan.

*****











To be continue.
Jangan bosan ya.
Klik bintang!!











TERSESAT DUA DUNIA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang